gambar

Entri Populer

jam

Selasa, 04 Januari 2011

mata kuliah pilihan PAI 3

BAB I

Keutamaan Puasa

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya para lelaki muslim dan perempuan muslimah, para lelaki dan perempuan yang beriman, para lelaki dan perempuan yang taat, para lelaki dan perempuan yang jujur, para lelaki dan perempuan yang sabar, para lelaki dan perempuan yang khusyu’, para lelaki dan perempuan yang rajin bersedekah, para lelaki dan perempuan yang rajin berpuasa, para lelaki dan perempuan yang senantiasa menjaga kemaluannya, dan para lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, maka Allah siapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 35)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa merupakan perisai yang dapat digunakan oleh seorang hamba untuk melindungi dirinya dari jilatan api neraka.” (HR. Ahmad, sahih)

Suatu ketika, Abu Umamah radhiyallahu’anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dengan sebab itu aku bisa masuk ke dalam surga.” Maka beliau menjawab, “Lakukanlah puasa, tiada yang dapat menyamainya.” (HR. Nasa’i, sanadnya sahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: Semua amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka janganlah dia mengucapkan kata-kata kotor ataupun berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci-maki dirinya atau memeranginya maka ucapkanlah; Aku sedang puasa. Demi tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi. Seorang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan; ketika berbuka puasa maka dia merasa senang, dan ketika berjumpa dengan Rabbnya maka dia pun merasa senang dengan puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dicuplik dengan peringkasan dari kitab Shifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid -hafizhahumallah-

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa:

  1. Puasa merupakan salah satu sebab turunnya ampunan dan curahan pahala
  2. Puasa merupakan salah satu sebab untuk menyelamatkan diri dari siksaan api neraka
  3. Puasa merupakan salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga
  4. Puasa merupakan sebuah amalan yang sangat istimewa yang disandarkan Allah kepada diri-Nya
  5. Puasa merupakan benteng dari perbuatan jelek
  6. Puasa akan mendatangkan kegembiraan di hati orang yang beriman; yaitu di dunia ketika dia berbuka/berhari raya dan di akherat ketika dia berjumpa dengan Allah dengan membawa amalannya

Semoga Allah yang Maha kuasa lagi Maha mengetahui masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan Ramadhan di tahun ini. Sehingga kita bisa menjalankan sebuah ibadah yang sangat agung demi menggapai ampunan dan pahala dari-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Puasa dalam Islam

Puasa dalam agama Islam atau Shaum (dalam Bahasa Arab صوم) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.

Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama.

Waktu haram puasa adalah waktu saat umat Muslim dilarang berpuasa. Hikmah puasa adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.

Perintah dalam Al-Quran

Perintah berpuasa dari Allah terdapat dalam Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.

"Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumus siyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la allakum tataquun"

“ Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa."

[sunting] Hikmah Puasa

Ibadah shaum Ramadhan yang diwajibkan Allah kepada setiap mu’min adalah ibadah yang ditujukan untuk menghamba kepada Allah seperti yang tertera dalam QS. Al- Baqarah/2: 183. Hikmah dari ibadah shaum itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam QS. Ali ‘Imran/3: 146.

  1. Baris terlekuk
  • Baris isi

Secara Aktivitas

Puasa adalah menahan. secaara artian adalah menahan keinginan hawa nafsu(atau jasad/diri).namun justru malah menjalankan keinginan keinginan Allah lah yang terkandung di dalam AlQuran. sehingga lebih optimal lagi dalam menjalankan ibadah yang Allah inginkan.

perintah puasa lebih menekankan kedalam aktifitas sendi kehidupan. dimana mampunya kita untuk menahan hawa nafsu kita (bahkan hingga makan dan minum pun kita tahan) kemudian menjalankan keinginan Allah sepenuhnya. sehingga meraih Taqwa

perintah pusa jatuh pada madinah. dimana dikondisi ummat islam saat itu baru saja hijrah dari mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan.. namun di sinilah terlihat sifat kesabaran(tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah..

Jenis-jenis Puasa

Puasa Asyura (pada bulan muharam)

·

    • Puasa 3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam), tanggal 13, 14, dan 15

Syarat wajib puasa

  1. Beragama Islam
  2. Berakal sehat
  3. Baligh (sudah cukup umur)
  4. Mampu melaksanakannya
  5. Orang yang sedang berada di tempat (tidak sedang safar)

Syarat sah puasa

  1. Islam (tidak murtad)
  2. Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
  3. Suci dari haid dan nifas
  4. Mengetahui waktu diterimanya puasa

Rukun puasa

  1. Niat
  2. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari

WAKTU HARAM PUASA

Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.

  • Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal )
  • Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha ( 10 Zulhijjah )
  • Berpuasa pada hari-hari Tasyrik ( 11, 12, dan 13 Zulhijjah )

Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

1. Hari Raya Idul Fithri

Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى – متفق عليه

Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fithr dan hari Adha. (HR Muttafaq ‘alaihi)

2. Hari Raya Idul Adha

Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.

3. Hari Tasyrik

Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa hukumnya makruh, bukan haram. Apalagi mengingat masih ada kemungkinan orang yang tidak mampu membayar dam haji untuk puasa 3 hari selama dalam ibadah haji.

إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْب وَذِكْرِ اللهِ تَعَالى – رواه مسلم

Sesunggunya hari itu (tsyarik) adalah hari makan, minum dan zikrullah (HR Muslim)

4. Puasa sehari saja pada hari Jumat

Puasa ini haram hukumnya bila tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.

5. Puasa pada hari Syak

Hari syah adalah tanggal 30 Sya‘ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Ketidak-jelasan ini disebut syak. Dan secara syar‘i umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu. Namun ada juga yang berpendapat tidak mengharamkan tapi hanya memakruhkannya saja.

6. Puasa Selamanya

Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar‘i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.

7. Wanita haidh atau nifas

Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diharamkan mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan tidak suci dari hadats besar. Apabila tetap melakukan puasa, maka berdosa hukumnya. Bukan berarti mereka boleh bebas makan dan minum sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan bulan Ramadhan dan kewajiban menggantinya di hari lain.

8. Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya

Seorang isteri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara syar‘i.

Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beri‘tikaf. Sabda Rasulullah SAW Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu bagi isteri, sedangkan puasa itu hukumnya sunnah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunnah.

BAB I

A. HUKUM

Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut syara’ hukum ialah firman Pembuat Syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain. Sedangkan menurut fiqih, hukum ialah akibat dari kandungan firman Pembuat hukum. Dan menurut ushul fiqih, hukum ialah firman dari Pembuat Syara’ itu sendiri, baik firman Tuhan atau sabda nabi. Dengan demikian, tidak boleh diartikan bahwa hukum syara’ hanya berupa firman yang semata-mata datang dari Pembuat Syara’, tanpa memasukkan dalil-dalil syara’ lain seperti, ijma, qiyas, dan lain-lain. Hukum terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum Taklifi, yaitu firman yang menjadi ketetapan, yang terdiri atas:

a. Ijab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

b. Nadb, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.

c. Tahrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

d. Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.

e. Ibadah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat ataupun ditinggalkan.

Kelimanya disebut sebagai taklifiyah yang berarti tuntutan atau memberi beban.

2. Hukum Wadh’i, yaitu firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, atau sebagai syarat yang lain, atau sebagai penghalang.

Hukum wadh’i terdiri atas:

a. Sebab, yaitu sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum. Artinya, dengan adanya sebab maka dengan sendirinya akan terbentuk hukum (musabab).

Sebab terbagi atas:

1) Sebab diluar usaha atau kesanggupan mukallaf.

2) Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf.

Mengerjakan sebab berarti menghendaki dan mengerjakan musababnya, baik disadari ataupun tidak. Orang yang mengerjakan sebab dengan sempurna maka orang tersebut tidak bisa mengelakkan diri dari musababnya.

b. Syarat, yaitu sesuatu yang karenanya baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya tidak akan ada hukum.

Syarat terbagi atas:

1) Syarat haqiqi (syar’i), yaitu suatu pekerjaan yang diperintahkan syari’at sebelum mengerjakan yang lain, dan pekerjaan yang lain ini tidak diterima apabila tidak melakukan pekerjaan yang pertama.

2) Syarat ja’li, yaitu segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan yang lain. Syarat ja’li terbagi atas:

a) syarat penyempurnaan adanya masyrut (syarat yang lain).

b) syarat yang tidak cocok dengan maksud masyrut dan berlawanan dengan hikmahnya.

c) syarat yang tidak nyata-nyata berlawanan atau tidak nyata-nyata sesuai dengan masyrut.

d) suatu pekerjaan yang tergantung pada sebab dan syarat, di mana sebab telah ada tetapi syarat belum ada, maka pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan.

c. Mani’ (Penghalang), yaitu sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.

Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i:

1. Hukum taklifi menuntut perbuatan mencegahnya atau membolehkan memilih untuk melakukan atau tidak, sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut melarang atau membolehkan memilih.

2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i kadang disanggupi kadang tidak.

B. AL-QUR’AN

Al-Qur’an ialah kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab. Ke-Arab-an Al-Qur’an merupakan bagian dari Al-Qur’an, karena itu terjemahannya tidak disebut sebagai Al-Qur’an. Al-Qur’an harus diturunkan dengan tawatur, artinya diriwayatkan oleh orang banyak secara berturut-turut. Pokok isi kandungan Al-Qur’an terdiri atas:

1. Tauhid (mengesakan Allah)

2. Ibadah

3. Janji dan Ancaman

4. Peraturan dan Hukum

5. Riwayat dan Cerita

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat umum (kulli) tidak membicarakan soal-soal yang kecil (juz’i). Karena itu, Al-Qur’an membutuhkan penjelasan untuk menjelaskan hukum secara lebih detail, yaitu berupa sunnah, ijma’, dan qiyas. 5

Hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara garis besar terbagi atas dua, yaitu:

1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah).

Ibadah terbagi atas:

a. Yang bersifat semata-mata ibadah, yaitu shalat dan puasa.

b. Yang bersifat harta benda dan hubungan masyarakat, yaitu zakat.

c. Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu hajji.

2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia dengan manusia, yang disebut mu’amalat.

Hukum ini dibagi empat, yaitu:

a. Yang berhubungan dengan jihad.

b. Yang berhubungan dengan rumah tangga.

c. Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia.

d. Yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat).

Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu:

1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.

2. Tidak memperbanyak tuntutan.

3. Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.

C. SUNNAH

Sunnah menurut bahasa ialah jalan yang terpuji; jalan atau cara yang dibiasakan; kebalikan bid’ah; apa yang diperbuat oleh sahabat baik ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits ataupun tidak. Menurut istilah, sunnah ialah segala yang dinukil dan diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Sunnah juga disebut hadits atau khabar. Sunnah dapat dijadikan hujjah (pegangan) dan dapat mengadakan hukum. Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an serta menjadi dasar penetapan hukum, dan aqal fikiran adalah yang ketiga.

Sunnah dibagi empat, yaitu:

1. Sunnah Qauliyah (perkataan Nabi SAW), disebut juga sebagai Khabar. Sunnah qauliyah terbagi atas:

a. Yang pasti benarnya.

b. Yang pasti tidak benarnya.

c. Yang tidak dapat dipastikan benar salahnya.

2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan Nabi SAW), terbagi atas:

a. Gerakan hati, jiwa, dan tubuh.

b. Perbuatan yang merupakan kebiasaan dan pembawaan.

c. Perbuatan yang khusus dikerjakan oleh Nabi SAW.

d. Perbuatan yang menjelaskan isi Al-Qur’an.

e. Perbuatan yang menunjukkan kebolehan suatu perkara.

3. Sunnah Taqririyah (pengakuan Nabi SAW)

4. Sunnah Hammiyah (hal yang hendak diperbuat Nabi SAW, tetapi tidak sampai diperbuat)

D. IJMA’

Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa mengenai suatu hukum syara’. Artinya, ijma’ harus disetujui oleh seluruh (lebih dari satu orang) ahli ijtihad dari seluruh umat muslim pada masa yang sama dan persetujuan tersebut harus tampak nyata, serta hanya untuk menetapkan hukum-hukum syara’. Ijma’ terbagi atas:

1. Ijma’ Qauli, dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan untuk menyepakati pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut Ijma’ Bayani atau Ijma’ Qath’i.

2. Ijma’ Sukuti, dimana para ahli ijtihad bersikap diam terhadap pendapat mujtahid lain dimasanya. Diam di sini dianggap menyetujui.

E. QIYAS

Dari segi bahasa, qiyas berarti mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Sedangkan menurut istilah, qiyas ialah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Rukun qiyas yaitu:

1. Asal (pokok), yaitu yang menjadi ukuran. Syarat asal yaitu:

a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok.

b. Hukum yang ada pada pokok harus hukum syara’.

c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian.

2. Far’un (cabang), yaitu yang diukur atau yang diserupakan. Syarat far’un yaitu:

a. Adanya cabang tidak lebih dulu dari pokok.

b. Cabang tidak mempunyai ketentuan sendiri.

c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan yang ada pada pokok.

d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.

3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya. Syarat illat yaitu:

a. Illat harus tetap berlaku.

b. Illat berpengaruh terhadap hukum.

c. Illat harus terang dan tertentu.

d. Illat tidak berlawanan dengan nas.

4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.

Sumber-sumber Hukum Islam

A. Al Qur’an

1. Definisi Al Qur’an Dan Akar kata al Qur’an

Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa

yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama

itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.

Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat

nama al Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab

yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta

untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak

menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitabkitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang

mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat. Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan

(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya

maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).

Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi

kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u”

seperti “gufran” dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).

Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara

gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.

“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf

[7]:204).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur’an dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Qur’an : penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita

boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.

“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf

[7]:204).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur’an dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Qur’an :

a. Asy-Syafi’i, berpendapat bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah ( Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa 5. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.

b. Al-Farra’ dalam kitabnya “Ma’anil Qur’an” berpendapat bahwa lafadz qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qara’in jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Qur’an itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.7 Dan huruf “nun” pada akhir lafadz al Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.8

c. Al Asy’ari berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al Qur’an dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf. Tiga pendapat diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama’ yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :

a. Az Zajjaj, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu’lan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qar’un yang berarti jam’un, Seperti kalimat quri’al ma’u fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar’un bermakna jam’un, yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.

b. Al Lihyani, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola

kata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala

(membaca).

Secara terminologi al Qur’an menurut beberapa ulama adalah:

a. Ulama Ushul fiqh,

Artinya:

“Kalam Allah9 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an Nas.10

b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya,

undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan

kepada kita dengan jalan mutawatir

c. Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan al Quran sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya mencakup keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang essensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal cerdas. Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih focus pada subyek pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni rasulullah Muhammad saw, proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir, membacanya dikategorikan sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya melalui malaikat Jibril, penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan definisi ketiga berkaitan dengan isi dan kriteria bagi orang ingin memahaminya.

Dari definisi tersebut dapat dinalisa bahwa al Qur’an memiliki unsur-unsur Yang menjadi ciri khas bagi al Qur’an, yakni :

a. Al Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Tidak dinamakan al Qur’an seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad sehingga tidak disebut al qur’an.


SYARIAH ISLAM DAN KONSTITUSIONAL MODERN


I. Latar belakang masalah

Negara Indonesia adalah sebuah negara yang terbentuk dari banyaknya pluralisme yang tersebar diseluruh penjuru bangsa, misalnya saja adalah keanekaragaman sebuah kepercayaan atau biasa yang kita sebut dengan agama (Islam, kristen, protestan, budha, hindu). Namun, mayoritas penduduk bangsa Indonesia beragama Islam pertanyaan yang menyeruak kepermukaan adalah apakah konsep negara Indonesia???Mengikuti syariah Islam dalam tatanan negaranya ataukah tidak??

Dalam kenyataannya, Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inkonstitusional?

Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)

Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekedar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).

Dari sebagian potongan dalil diatas bisa kita jadikan sebagai indikasi bahwa dalam ajaran agama islam terdapat himbauan untuk mendirikan negara islam dalam konstektual tertentu.

Bahkan, seiring bergulirnya gerakan civi society dan demokratisasi, hadirnya pemikiran hukum Islam alternatif dapat dimaknai sebagai fiqih pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat yang berbudaya (civilized) dengan membangun penguatan dan interpendensi yang cukup tnggi, sehingga tidak tergantung pada melodi kebijakan negar dan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis. Hal ini sangat mungkin bisa terjadi karena watak eksklusig pemikiran hukum islam yang mengarah pada suatu gerakan deidiologi fiqh, sebagaimana terlihat dalam catatan sejarah, terbukti telah mampu menempatkan wilayah hukum Islam di luar mainsteram proses pembakuan pengintegerasian hukum Islam ke dalam struktur negara.

Kemudian, apakah mungkin bahwa sistem ataupun konsep negara Indonesia adalah berdasarkan syariah Islam? Secara keseluruhan atau gabungan antara “Dunia Barat” dengan “Dunia Islam” ? inilah yang melatar belakangi penelusuran kami dalam makalah ini.

II. Permasalahan

· Seperti apakah sebenarnya keterkaitan antara “Syariah Islam” terhadap “Kontitusional Modern” ?

· Bagaimanakah dengan Negara Indonesia, apakah bangsa Indonesia termassuk dalam negara dengan sistem dan konsep tatanan negara berdasarkan syariah islam ?

· Dimanakah bukti nyata ataukah konkrit bahwa “ya” dan “tidak”nya syariah islam dalam tatanan sistem pemerintahan indonesia ?

· Dari kacamata luar dengan pluralisme yang ada di indonesia bagaimana cara jika membangun negara islam dalam indonesia ? mungkinkah terwujud atau tidak ? bahkan mungkinkah sudah terjadi ?

  1. Hukum Islam

a) Pengertian hukum islam

Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.

Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia.

b) Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum islam baik dalam pengertian syaariatr maupun fikih di bagi menjadi dua baagian besar, yaitu: Ibadah (mahdhah) dan muamalah (ghairu mahdhah).

1) Ibadah (mahdhah) adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang muslim dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata caara dan upacara ini tetap, tidak ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah di atur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secaara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara beribadat. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan aalat-alat modern dalam pelaksanaannya.

2) Muamalah (ghairu mahdhah) dal.a pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu.

c) Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemashlahaatan bagi mereka; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di duniaa dan di akhirat dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup maaupun kehidupan manusia. Ada lima tujuan hukum islam, yaitu:

Ø Agama

Ø Jiwa

Ø Akal

Ø Harta, yang disebut “maqasid al-khamsah”

1) Memelihara agama

Beragama merupakan kebutuhan manusia yang dapat mnyenntuh nurani manusia. Agama akidah, syariah dan akhlak ataun mencampuradukkan ajaran agama islam dengan pham atau aliran bathil. Agama islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agam islam tidak m,emaksakan pemeluk agama lain memeluk agama islam.

2) Memelihara jiwa

Menurut hukum islam jiwa harus dilindung. Uuntuk itu hukum islam wajjib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hhukum islam mekarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan manusia untuk mempertahankan kemashlahatan hidupnya.

3) Memelihara akal

Menurut hukum islam seseeorang wajib memelihara akalnya kerana akal mempunya peranan yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya, maanusia dapat memahami waahyu Allah baik yang terdapat daalam kitab suci ataupun ayat-ayat Allah yang terdapat di alam. Dengamn akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmmu pengetahuan daan teknologi.seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum islam dengan baik daan benar tanpa menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum islam. Untuk itu, hukum islam melarang oraang meminum minuman yang memabukkan dan memberikan hukuman pada perbuatan yang merusak akal.

4) Memelihara keturunan

Dalam hukum islam, memelihara ketuurunan adaalah hal yang sangat penting. Untuk itu dalam hukumislam untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang aada dalam al quran dan as sunah dan dilarang melakukan perbuatan zina.

5) Memelihhara harta

Menurut hukum islam, harta merupakan pemberiaan Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu, manusia sebaga khalifah Allah di muka bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mmengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haaknya untuk memperooleh harta dengan cara-cara yang halal artinnnya menurut hukumdaan benar menurut ukuran moral.

d) Sumber Hukum Islam

Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59,

“wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).

dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:

1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.

2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya

3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.

4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,

Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:

1) Al Quran

2) Sunah atau hadits Rasul

3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal ‘aqdi (legislatif), amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing konsensus kolektif (ijma’)

4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran kemmbali jika terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.

Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikaasikan menjadi dua jenis:

1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah

2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia.

  1. Politik Islam

a) Pengertian politik islam

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.

b) Realitas politik Islam yang berkembang

Realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi.

Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

  1. Politik Modern

Banyak sekali tipe, jenis, cara, sistem ataupun metode dalam berpolitik modern. Namun yang tengah trend di kalangan poolitikus dan negara di dunia adalah sistem demokrasi. Berikut penalaran sistem demokkrasi :

v Demokrasi konstitusional

Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%). Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.

Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen. Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan.

Pada tahun 1579 terbit sebuah buku berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu. Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Hugo Grotius (1583-1645M) dan Thomas Hobbes (1588-1679M).

Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

  1. Negara dalam Islam

a) Teori Negara Islam

Istilah negara atau state pada masa modern berasal dari status yaitu perkataan Latin (stato dalam bahasa Itali, etat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris). Menurut Webster’s Dictionary, Negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat. Sedangkan menurut Ziya Gokalp, negara berarti suatu otoritas publik yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan peraturan–peraturan hukumnya atas individu–individu yang keselamatannya di bawah naungan (negara itu). Oleh karena itu tujuan penciptaan suatu negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat demi kepentingan hidup kolektif manusia itu sendiri.

Dalam pandangan Marxis sebagaimana yang dirumuskan Lenin sebaliknya mengatakan bahwa negara adalah buah dari manifestasi dari antagonisme kelas yang tidak dapat didamaikan. Kemudian Lenin mengatakan menurut Marx, negara adalah suatu organ penguasaan kelas, suatu organ pemerasan satu terhadap yang lain, tujuannya ialah penciptaan ketertiban yang membenarkan secara hukum dan melangsungkan pemerasan ini dengan cara melunakkan tantangan antar kelas–kelas itu. Teori ini menginginkan penghapusan negara dan bertujuan menciptakan suatu masyarakat tanpa negara sebagai tingkat akhir dari revolusi komunis. Bila dilihat dari sudut pandang seorang muslim tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran, yaitu bahwa suatu Negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua. Berbeda dengan pandangan Marxis, dalam sebuah Negara Islam yang sebenarnya, teori antagonisme kelas, dominasi kelas, dan teori tentang eksploitasi satu kelompok oleh kelompok yang lain. Sama sekali tidak dapat dibayangkan karena hal itu akan menghancurkan prinsip–prinsip dan perintah–perintah moral Al-Qur’an mengenai suatu tata tertib sosial dinamis yang etis. Segala bentuk dominasi dan eksploitasi tidak dapat dibenarkan secara etis tetapi harus dikutuk secara keras dan dikikis habis dengan radikal, karena semua itu berlawanan dengan prinsip kemuliaan manusia.

Setelah disandingkan dengan Islam yaitu menjadi Negara Islam, kedua kata ini sangat populis dan membuat interpretasi–interpretasi tersendiri oleh para ahli. Baik oleh pemikir Islam besar dunia seperti Abu ‘Ala Al-Maududi, Muhammad Assad, Jamaluddin Al-Afghani, Ayatullah Khomeini, dan lainnya. Dalam konteks perkembangan sejarah Indonesia, mulai dari prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan istilah Negara Islam muncul dan bahkan menjadi perdebatan sengit diantara para Founding Father dalam merumuskan dasar negara Indonesia.

b) Kedudukan Negara dalam Islam

Salah satu kesuksesan negara Barat atas negara-negara Islam adalah berhasil menanamkan ide “ Islam adalah agama, bukan Negara” pada kaum muslimin. Agama adalah teologi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Adapun urusan negara cukup diatur oleh akal manusia saja dan tidak perlu campur tangan agama. Paham yang memisahkan Negara dengan agama ini kemudian kita kenal dengan istilah Sekulerisme.

Mereka ( Negara barat ) ingin menerapkan pada Islam di Timur apa yang mereka lakukan terhadap Kristen di barat. Sebagaimana kebangkitan kristen di Barat diinspirasi dari pemisahan Negara dari agama, maka Barat merencanakan kebangkitan (baca: yang sebenarnya kehancuran) Islam dengan memisahkan agama dari negara.

Salah satu semboyan yang terus dilancarkan adalah agama untuk Tuhan, negara untuk rakyat. Dengan demikian agama harus terpisah dari Negara. Agama tidak punya ruang untuk ikut serta mengatur Negara.

Contoh Negara yang menyerap ide sekulerisme secara penuh adalah Turki yang dikomandani Kamal Ataruk. Turki berhasil memisahkan Negara dari agama setelah menghacurkan Khilafah Ustmaniyah: benteng terakhir yang dimiliki kaum muslimin.

Dalam Islam, negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama. Karena makna agama sebagaimana diungkapakan Dr. Amir abdul Aziz- mencakup Negara karena sifat Islam yang universal. Memisahkan agama dan Negara berarti memisahkan bagian esensial dari agama itu sendiri. (lih. Nidzamul Islam, Dr. Amir Abdul Aziz hal : 72). Salah satu dalil yang menunjukkan Islam adalah Agama dan Negara:

v Dalam Al-Quran

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Susungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha mengetahui (QS. An- Nisa:58)

Ayat diatas ditujukan kepada para penguasa untuk menjaga amanat, menegakkan keadilan, karena menghilangkan amanat dan keadilan akan merusak ummat dan Negara.

c) Konsep Negara dalam Islam ( ma’alim ad-Daulah al-latie Yubayyinuha al-Islam)

Disamping sebagai ajaran yang menjadi penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Islam juga menjadi rahmat bagi kehidupan manusia antara satu dan lainnya. Islam tidak hanya berusaha membentuk pribadi yang sholeh, keluarga sholeh, Islam juga memiliki konsep bagaimana mengatur sebuah negara menjadi negara yang sejahtera dan dirahmati Tuhan. Konsep Negara dalam Islam dapat kita lihat sebagai berikut:

v Negara Sipil yang Berasas Islam

Negara dalam Islam bukanlah negara agama (daulah diniyah) sebagaiman dikenal sebelum Islam. Juga bukan model Negara yang kita kenal setelah kedatangan Islam seperti negara sekuler.

Dalam negara agama kekuasaan negara dipegang oleh sekelompok tokoh agama (rijaaluddin) yang berkuasa atas nama Tuhan (al-hak al-ilahi). Seorang rijaluddin dalam Negara agama menjadi wakil tuhan dimuka bumi. Maka segala tindakan dan perkataannya suci dan sakral. Tidak ada satupun yang boleh membantah sekalipun tindakan tersebut keliru dan menyimpang dari ajaran agama itu sendiri.

Konsep Negara dalam Islam adalah Negara sipil yang berdasarkan ajaran Islam, ba`iat dan syuro (musyawarah mufakat). Penguasa dalam Negara Islam dipilih dari orang yang kuat dan amanah. Maka siapapun yang tidak memiliki ilmu dan tidak amanat tidak boleh menjadi pemimpin negara kecuali dalam keadaan darurat.

Islam sendiri tidak mengenal istilah pemegang agama (rijaaluddin) sebagaimana yang dikenal dalam agama lain. Islam hanya mengenal istilah ulama yang berkecimpung dalam berbagai macam ilmu keislaman.

Adapun hubungan ulama dengan Negara dalam Islam adalah adanya kewajiban bagi para ulama tersebut untuk memberi nasehat kepada pemimpin Negara. Kewajiban ini tidak terbatas kepada para ulama saja, melainkan untuk seluruh kaum muslimin. Dalam Islam setiap muslim bertanggung jawab atas agamanya.

“…sesungguhnya allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.(QS. Al-Hajj:40-41).

d) Ciri-ciri Negara Islam ( Thobieatu ad-Daulah fil al-Islam)

Salah satu ciri Negara Islam adalah sifat penguasanya yang tidak mutlak. Segala keputusan dan perkataanya tidak ada yang sacral . Ia boleh saja melakukan kesalahan. Dan kewajiban para ulamalah (khususnya) dan ummat pada umumnya untuk meluruskannya.

Seorang pemimipin dalam Negara Islam tunduk kepada hukum yang tidak ia ciptakan sendiri atau partainya melainkan tunduk kepada humum Tuhan ( ajaran Islam) yang diturun kepada semesta alam. Maka dengan demikian tidak ada seorang yang mendapat keringan untuk tidak menjalankan hukum syariat Islam.

Dalam Negara Islam rakyat berhak dan wajib menentang jika diperintah oleh pemimpinnya terhadap kekuasaannya. Kerena ketika bertentangan antara perintah tuhan dan perintah pemimipim maka humum tuhan harus didahulukan. Dan “ tidak ada ketaatan kepada makluk untuk maksiat kepada Allah”.

Abu Bakar berkata dalam khutbah baiatnya: “taatilah aku selagi aku taat kepada Allah, dan jika aku maksiat janganlahlah kamu mentaatiku. Jika aku benar maka bantulah aku, jika aku melakuan kesalahn tentanglah aku”.

Pemimpin negara Islam bukanlah wakil tuhan melainkan wakil ummat. Dan ummatlah yang memilihnya. Inilah yang membedakan antara Negara Islam dengan Negara agama. Dalam Negara agama, para pemimpin adalah wakil Tuhan yang semua tindakan dan ucapannya adalah mewakili tuhan yang tidak boleh salah.

  1. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Indonesia

Hukum Islam ada dua sifat, yaitu:

· Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa

· At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai kondisi dan situasi sosial.

Dilihat dari sketsa historis, hukum islam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebelum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan hukum islam baggi umat islam berkobar, setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri melalui teori receptie.

Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”.

Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukum islam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.

Dengan demikian kontribusi umat islam dalam perumusan dan penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjalanannya suatu ketentuan yang wajib menurut islam menjadi wajib pula menurut perundangan.

  1. Syariah Islam dan Konstitusional Modern

a) Konstitusionalisme modern dalam konteks umat islam

Konsep konstitualisme modern dan implikasinya yang niscaya, mencerminkan kesepakatan pendapat umum saat ini, baik didalam maupuun diluar dunia islam. Karena konsep dan implikasinya ini telah diartikulasikan dan diaplikasikan secara sangat baik di negara-negar barat. Ini tidak berarti kontitualisme barat merupakan kontitualisme yang yang ideal dan ditiru oleh untuk diterapkan begitu saja oleh umat islam atau masyarakat lainnya di muka bumi. Namun, bagaimanapun juga, prestasi barat dalam hal ini perlu dihargai sebagai bagian dari keseluruhan pengalaman dan pengetahuan umat manusia. Dari situ umat islam dan masyrakat lain dapat mengambil dan mengadaptasinya, tentu disesuaikan dengan agama dan tradisi kultural yang mereka miliki.

b) Pertimbangan Umum

Kontitusi didefinisikan sebagai “hukum organik dan dasar suatu bangsa atau negara, yang menetapkan konsep pemerintahannya, mengorganisasikan pemerintahannya, mengorganisasikan pemerintahan, mengatur, membagi, dan membatasi fungsi departemen yang ada, serta menentukan cara kapan dan cara menggunakan kekuasaan”. Kontitualisme merupakan teori atau prinsip pemerintahan kontitusional, atau menganut teori tersebut. Dalam alur yang sama, sumber lain mendefinisikan kontitualisme sebagai prinsip “bahwa otoritas publik harus digunakan secara hukum; bahwa intitusi negara dan masyarakat (civic), kekuasaan esekutif dan legislatif, memiliki sumbernya dalam konstitusi yang harus dipatuhi dan tidak menyimpang dari gerak pemerintahan saat itu. Singkatnya, kontitualisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum (goverment by law), bukan pemerintahan oleh orang-orang (goverment by men).

Kontitualisme lebih sekedar dari pemerintahn yang sesuai dengan “konstitusi”. Sesuatu yang pantas disebut konstitusi harus tidak hanya menenkankan pembatasan-pembatasan yang efektif atas kekuasaan pemerintah dan mendesakkan kewajiban-kewajiban positif padanya, melainkan harus mendesakkan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Telah dikatakan bahwa konstitusi adalah “rakitan hukum-hukum, intitusi dan kebiasaan, yang di jabarkan dari prinsip-prinsip rasionalitasbaku tertentu,yang menyusun sistem umum, yang dengan sistem tersebut masyarakt setuju untuk diatur”.

Umat islam diseluruh dunia telah mewarisi bentuk pemerintahan ini dari pengalaman kolonial mereka dan mereka telah melanjutkan penyelenggaraan negara-bangsa mereka sendiri secara sukarela pada masa pasca kolonial nya.

Karena itu, penting untuk ditegaskan bahwa proses pemerintahan harus dikontrol oleh prinsip-prinsip yang lebih tinggi dan lebih fundamental, yakni prinsip yang menjamin hak-hak individu dan hak-hak berhadapan dengan kehendak manyoritas dengan membatalkan keabsahan tindakan leglislatif atau esekutif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

c) Pengalaman historis dan legitimasi kultural

Setiap negara didunia dewasa ini dapat dikatakan telah memiliki kontiutsi dalam pengertian peraturan dan pengaturan minimal yang melahirkan berbagai organ pemerintahan dan menentukan hubungan organ yang satu dan yang lainnya serta hubungan antara organ-organ itu dengan warga negara.

Cukup banyak negara-negara kontempore yang kurang memberikan perlindungan terhadap baik hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan kultural.

Sama sekali tidak diragukan, bahwa dalam membuat anlisis transkultural seperti konsep konstitualisme, seseorang harus menyadari bahaya-bahaya simplikasi dan asumsi yang berlebihan. Di satu sisi, seseorang harus berhati-hati untuk mencermati asumsi bahwa “model teoritik yang dibutuhkan bagi pertimbangan kualitatif transkultural menyangkut perilaku hukum, konstitusi, politik dan peradilan yang sudah terlebih dahulu ada dalam bentuk yang canggih di dunia barat”. Di sisi yang lain, seseorang juga harus memeriksa dengan teliti asumsi relativisme, bahwa setiap sistem kultural adalah unik dan terpisah dari komunitas dunia, yang tampaknya mempunyai kesamaan-kesamaan tetapi sebenarnya ditemukan renik-renik kekhasan di setiap negara. Dan studi perbandingan sistem perundang-undangan harus dianggap menyesatkan atau tidak bermakana.

d) Penilaian atas Negara Syariah historis sebagai negara kontitusional

Para perintis hukum syriah belum berpikir dari segi hukum positif (dengan membedakan dari norma-norma agama dan etnik), apalagi membedakan hukum konstitusional dan hukuum publik lain dan memperbincangkannya. Karena itu perlu menggunakan konsep dan implikasi-impliksi kontitualisme yang telah diuraikan sebelumnya, untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi prinsip-prinsip syariah terkait yang relevan.

Sumber teori paling otoritatif dibawah syariah adalah model negara Madinah yang dibangun sendiri oleh Nabi pada 622 M, dan diterapkan oleh empat kholifah penggantinya (al-khulafa al-rasyidin).

Terlepas apakah karakterisasikan dalam terminologi modern sebagai teokrasi atau nomokrasi. Negara Nabi di Madinah memiliki organisasi de facto yang khas yang harus dicontoh sepeniggalnya, yang tunduk pada modifikasi yang dibutuhkan karena berhentinya wahyu Allah. Sesuai dengan pandangan ini penguasa umat islam setelah Nabi disebut khalfa Rasul Allah”. Oleh karena itu, bagi manyoritas Sunni, khalifah adalah penerus peran Nabi sebagai penguasa politik tertinggi umat Islam, tanpa meneruskan perannya sebagai Nabi dan penerima petunjuk Allah.

KONSEP NEGARA DALAM ISLAM

(tanggapan atas artikel "Masyarakat Madani vs Daulah Islamiyah")

oleh: Ahmad Sajeed

Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inkonstitusional?

Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)

Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekedar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).

Sedangkan kewajiban pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:

"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."

Menurut Imam al-Khathabi arti bawaahan dalam hadits di atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Demikian pula dengan riwayat lain yang menggunakan istilah baraahan 1 . Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kufr dalam hadits tersebut adalah kemaksiatan2 .

Allah swt berfirman:

"Apakah hukum Jahilliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yanglebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin" (QS al-Maidah: 50)

Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Hukum Jahilliyah adalah hukum yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw dari Tuhannya. Hukum Jahilliyah adalah hukum kufur yang dibuat oleh manusia".3

Pada ayat yang lain Allah swt berfirman:

"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah. Dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (QS al-Maidah: 48)

Perintah untuk memutuskan semua perkara (termasuk urusan kenegaraan) menurut syariat Islam ini tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umatnya karena tidak ada ayat lain dalam al-Qur’an maupun al-Hadits yang mentakhsis (mengkhususkan) perintah tersebut hanya untuk Nabi saw.

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menggariskan kewajiban untuk menegakkan kekuasaan yang berlandaskan syariat Islam.

Dalam literatur-literatur klasik memang tidak akan kita jumpai tentang cara bagaimana mendirikan suatu negara Islam. Kitab-kitab tersebut disusun ketika Kekhalifahan Islam masih berdiri dan dalam keadaan jaya sehingga tidak terlintas sedikitpun di benak para penulisnya bahwa suatu saat kekhalifahan itu akan runtuh dan diperlukan upaya untuk mendirikannya kembali. Literatur-literatur klasik seperti Ma’afiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah karya Imam al-Qasysyandi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Imam Mawardi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Abu Ya’la al-Faraa, dan al-Kharaj karya al-Qadli Abu Yusuf, banyak berbicara tentang praktek kenegaraan Khilafah Islamiyah dan bukan cara mendirikannya. Tetapi yang jelas, literatur-literatur tersebut menyajikan fakta tentang keberadaan suatu negara Islam.

Negara Islam pertama

Perdebatan seputar pertanyaan: apakah "Negara Madinah" itu benar-benar suatu negara definitif atau sekedar institusi kemasyarakatan biasa, lebih dilandasi pada ketidakjelasan fakta-fakta seputar apa yang terjadi di Madinah dan di seluruh wilayah kekuasaan Islam pada saat itu.

Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert MacIver hampir senada dengan Harold Laski.

Negara jauh lebih kompleks dibanding masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai "sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial (Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka.

Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu komunitas dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya’ir), dan hukum yang diterapkan di tengah komunitas tersebut (nizham). Jika salahsatu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka komunitas tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepakbola di stadion yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh hukum yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang membuktikan bahwa yang dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah sebuah negara:

1. Rasulullah saw menerima bai’at sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Nabi.

Pengakuan seorang muslim kepada kenabian Muhammad saw adalah dengan ucapan dua kalimat syahadat, bukan dengan bai’at. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra yang berkata:

"Kami dahulu, ketika membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau, beliau selalu mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan kemampuanmu)"

Bai’at ini adalah pernyataan ketaatan kepada seorang Kepala Negara, bukan sebagai seorang muslim kepada Nabinya. Indikasinya adalah penolakan Rasulullah saw terhadap bai’at seorang anak kecil yang belum baligh, yaitu Abdullah bin Hisyam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa kakeknya, Abdullah bin Hisyam, pernah dibawa pergi oleh ibunya, yaitu Zainab binti Humaid, menghadap Rasulullah saw. Ibunya berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’atnya." Kemudian Nabi saw menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap kepala anak kecil itu dan mendoakannya.

Jika bai’at itu berfungsi sebagai pengakuan atas kenabian Muhammad saw, beliau tidak mungkin menolaknya walaupun datang dari seorang anak kecil yang belum baligh karena syariat Islam menggariskan bahwa seorang anak telah terkena kewajiban agama yaitu membayar zakat yang ditanggung oleh orangtuanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah saw memegang jabatan Kepala Negara selain kedudukannya sebagai Nabi.

2. Rasulullah saw sebagai Kepala Negara mengirim surat kepada penguasa negara-negara besar untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam.

Tidak mungkin suatu masyarakat biasa memiliki strategi politik untuk meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu negara yang memiliki serta mengemban kepentingan eksternal yang dirumuskan dalam strategi politik luar negerinya.

Isi surat Rasulullah saw tersebut adalah:

"Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Dari Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Anda dua kali lipat. Namun jika Anda berpaling maka Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin." (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari, juga al-Bidayah IV/226)

Surat senada juga disampaikan kepada Kisra (Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir), Najasyi (Raja Ethiopia), al-Harith al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari (Raja Yaman).

Seruan ini bukan sekedar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan perang. Rasulullah saw pernah berkirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:

"Atas nama Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Uskup Najran. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk memuji Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.

Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada hamba. Aku mengajak kalian kepada kekuasan Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajakanku ini, maka hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak untuk menyerahkan jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan. Wassalam." (Tafsir Ibnu Katsir I/139, al-Bidayah V/55)

Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt kepada kaum muslimin dari orang-orang non-muslim karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam4 .

3. Adanya hukum yang bersifat mengikat dan memaksa.

Syariat Islam adalah hukum, bukan sekedar norma. Tindakan kriminal (jarimah) mendapat sanksi definitif yang dijatuhkan oleh negara walaupun dimensi transendental dalam Islam mengaitkan penjatuhan sanksi tersebut dengan alam akhirat.

Masyarakat awam sering membayangkan komunitas Madinah seperti masyarakat tingkat kelurahan atau RT yang dalam proses penjatuhan sanksi sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan kejahatan ditentukan melalui musyawarah. Yang sering dijadikan dalil adalah ayat al-Qur’an surat an-Nisaa: 159 dan asy-Syura: 38 yang memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah mengenai suatu urusan.

Pengambilan dalil secara sepotong demi sepotong memang mengasyikkan karena hukum agama dapat dibelok-belokkan sesuai keinginan kita. Tetapi harus diingat bahwa satu ayat tidak dapat terlepas dari ayat lain maupun teks-teks al-Hadits. Ini berkaitan dengan nasakh-mansukh, takhsis, tabdil, taqyid, dan lain-lain (dapat kita diskusikan lebih lanjut dengan topik "Kodifikasi Hukum Islam").

Rasulullah saw bermusyawarah dengan para Sahabat maupun dengan penduduk Madinah hanya untuk masalah-masalah yang bersifat mubah/boleh dan tidak menyangkut wahyu. Misalnya ketika Perang Uhud, beliau mengikuti pendapat mayoritas penduduk Madinah yang memilih menyambut musuh di luar kota padahal Rasulullah dan sahabat-sahabat besar memilih menyambut dari dalam benteng.

Untuk hal-hal yang menyangkut wahyu dan ketetapan hukum, Rasulullah saw tidak meminta pendapat siapapun selain mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.

"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Yunus: 15)

"(Dan) tidaklah ia mengucapkan sesuatu berasal dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan" (QS an-Najm: 3-4)

Dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengabaikan pendapat para Sahabat yang mengajukan protes terhadap kesediaan beliau menerima konsep perjanjian yang disodorkan oleh kaum Quraisy Mekkah. Umar bin al-Khatthab menunjukkan rasa marah dan kecewanya atas sikap Nabi tersebut, tetapi Rasulullah tidak bergeming sedikitpun karena sikap politik itu diambil atas perintah Allah swt.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara, Rasulullah saw tidak melakukan negosiasi atau tawar-menawar dalam penjatuhan sanksi kepada para pelaku tindakan kriminal. Beliau pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang terbukti melakukan zina. Beliau pernah pula mengusir kaum Yahudi bani Qainuqa’ dari Madinah karena dengan sengaja menghina kehormatan seorang muslimah dengan menarik jilbabnya hingga terlepas. Semua sanksi hukum tersebut diambil tanpa bermusyawarah atau tawar-menawar dengan siapapun.

Sebagaimana yang didefinisikan oleh Harold Laski bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa, jelaslah bahwa Rasulullah saw menjalankan fungsi sebagai Kepala Negara.

4. Struktur Negara Islam pertama

Layaknya suatu negara, negara Islam yang dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki struktur yang khas dan sistematik.

Beliau mengangkat Abubakar dan Umar sebagai wakil Kepala Negara. Al-Hakim dan Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Dua pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dari bumi adalah Abubakar dan Umar"

Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (Madinah), Rasulullah menunjuk para wali untuk memimpin wilayah (setingkat propinsi). Wilayah terbagi atas beberapa imalah (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh amil atau hakim.

Rasulullah menunjuk Utab bin Usaid sebagai wali Mekkah pasca-penaklukan, Badhan bin Sasan sebagai wali Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali al-Janad, Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil San’a, Zaid bin Lubaid bin Tha’labah al-Anshari sebagai wali Hadramaut, Abu Musa al-Ashari sebagai wali Zabid dan Aden, Amr bin al-Ash sebagai wali Oman, dan di dalam kota ditunjuk Abu Dujanah sebagai wali Madinah.

Dalam urusan pengadilan (al-Qadla), Rasulullah saw mengangkat beberapa qadli (hakim). Misalnya Ali bin Abi Thalib sebagai hakim di Yaman, dimana Rasulullah pernah menasihatinya:

"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putuskan salahsatu di antara mereka sebelum engkau mendengar pengaduan dari pihak yang lain. Maka engkau akan tahu bagaimana engkau harus memberi keputusan" (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Beliau juga mengangkat Muadz bin Jabal sebagai hakim di al-Janad, dan Rashid bin Abdullah sebagai qadli madzalim yang mengadili kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat.

Dalam urusan kesekretariatan negara (al-jihaz al-idari mashalih al-daulah), Rasulullah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis perjanjian, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel negara, Huzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat hasil pertanian daerah Hijaz, Zubair bin al-Awwam sebagai pencatat shadaqah, Mughirah bin Shu’bah sebagai pencatat keuangan dan transaksi negara, dan Syarkabil bin Hasanah sebagai penulis surat diplomatik ke berbagai negara.

Untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu, Rasulullah membentuk Majelis Syura yang terdiri dari tujuh orang Muhajirin dan tujuh orang Anshar, di antaranya adalah Hamzah, Abubakar, Ja’far, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar, Huzaifah, Abu Dzarr, dan Bilal.

Untuk posisi panglima perang dipegang sendiri oleh Rasulullah, namun untuk perang-perang sarriyah (tidak diikuti Nabi), beliau menunjuk orang-orang tertentu sebagai panglima perang, misalnya Hamzah bin Abdul Muththalib, Muhammad bin Ubaidah bin al-Harits, dan Saad bin Abi Waqqash menghadapi tentara Quraisy. Lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah menghadapi tentara Romawi.

Demikianlah struktur negara Islam pertama secara garis besar.

Bentuk negara Islam

Rasulullah saw bersabda:

"Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali" (HR Bukhari dan Muslim)5

Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Kepala Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abubakar yang menyandang gelar Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Kepala Negara).

Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia".6

Imam Mawardi mengatakan:

"Imamah (atau Khilafah) adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peran kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".7

Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun menyatakan:

"Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syari’ (yaitu seseorang yang bertugas memelihara dan melaksanakan syariat) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia".8

Tentang bentuk negara Khilafah ini, Rasulullah saw telah menegaskannya dalam hadits riwayat al-Bazzar:

"...kemudian akan muncul (kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..." 9

Berdasarkan penjelasan di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif maupun praktis sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924 (penjelasan rinci tentang bentuk negara Khilafah Islamiyyah dapat dibahas pada diskusi selanjutnya, insya Allah).

Membentuk "Masyarakat Madani"

Generasi Islam masa kini telah dijauhkan dari kekayaan khazanah peradaban Islam sehingga mereka mengalami kesulitan besar ketika harus mendeskripsikan konsep kemasyarakatan Islam yang secara normatif diyakini sebagai yang terbaik. Tak heran apabila generasi Islam masa kini lebih pas mendeskripsikan Masyarakat Madinah dengan idiom-idiom yang ironisnya justru diadopsi dari peradaban Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kedaulatan rakyat, sosialisme, dan lain-lain.

Salahsatu dampak peracunan Barat (westoxification) terhadap benak kaum muslimin adalah kecenderungan untuk menjauhkan pendekatan hukum dalam penegakan kehidupan Islam. Agama Islam dianggap sebagai agama ritual dan kultural, yang penegakannya dalam sendi-sendi kehidupan cukup dilakukan lewat "dakwah budaya" ala Emha Ainun Nadjib.

Kebesaran peradaban Islam tidak dibangun semata-mata melalui pendekatan kultural. Jika pendekatan model ini yang dipakai Rasulullah, niscaya beliau tidak akan memerangi Romawi dan negara-negara lain untuk menundukkannya di bawah kekuasaan Islam. Bahkan sebelum berdirinya negara Islam di Madinahpun para Sahabat sudah dididik dengan hukum-hukum Islam. Anas ra mengatakan:

"Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang sunnah" 10

Hal tersebut dilakukan terang-terangan oleh Nabi dan para Sahabat di depan hidung kaum kafir Quraisy. Shuhaib meriwayatkan:

"Bahwasanya ketika Umar masuk Islam, kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah" 11

Maka jelaslah bahwa Rasulullah saw selalu membina keterikatan para Sahabat dan seluruh kaum muslimin saat itu kepada hukum Islam.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah penolakan aspek hukum dalam ajaran Islam dan lebih menitikberatkan pada penerapan norma-norma atau yang sering diistilahkan dengan "nilai-nilai Islam". Hal ini diakibatkan oleh sikap lemah dan menyerah dari kaum muslimin terhadap pola kehidupan saat ini. Mereka merasa bahwa situasi saat ini sudah sangat sulit diubah sehingga upaya maksimal yang dapat dilakukan adalah menyisipkan "nilai-nilai Islam" dalam praktek kehidupan bernegara dan bermasyarakat sembari menunggu dan berharap suatu saat pola kehidupan saat ini akan ber-evolusi menjadi "lebih Islami"

Ajaran Islam tidak mungkin dapat diterapkan dengan cara tersebut. Ajaran Islam bersifat unik, berbeda secara diametral dengan ideologi-ideologi besar lainnya (sosialisme dan kapitalisme), serta memiliki hubungan yang erat antara al-fikrah (ide dasar) dengan at-thariqah (sistematika pelaksanaan). Mengambil ide dasar Islam dengan meninggalkan sistematika pelaksanaannya yang telah diatur dalam Islam adalah tindakan sia-sia.

Seperti saat ini, sebagian kaum muslimin bercita-cita mewujudkan Indonesia Baru sebagai sebuah "Masyarakat Madani", masyarakat berperadaban tinggi yang diadopsi dari perilaku kehidupan Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah. Nurcholish Madjid mencirikannya dengan tiga kata serangkai: adil, terbuka, demokratis. Tapi pertanyaan besar segera muncul: apakah adil itu? Apakah terbuka itu? Apakah demokratis itu?

Sampai di sini, sebagian ilmuwan Muslim terjebak pada stereotip Barat tentang keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Gambaran masyarakat Barat masa kini—minus segala sisi suramnya—diadopsi sebagai contoh ideal cita-cita "Masyarakat Madani". Mulai dari Kongres Amerika Serikat yang mampu mengimpeach presiden, sampai tabiat penduduk kota Toronto yang membiarkan burung-burung merpati bebas berkeliaran di taman kota. Semuanya dibenturkan dengan gambaran masyarakat Muslim di negeri-negeri Islam masa kini yang miskin, bodoh, terbelakang, dan selalu terlibat konflik internal maupun eksternal dari masa ke masa.

Inilah hasil dari suatu proses berpikir yang tidak utuh: meletakkan ide dasar di satu sisi dan sistematika pelaksanaan di sisi lain. Kaum muslimin tiba-tiba tergagap ketika harus mendeskripsikan sistematika Islam untuk mewujudkan suatu masyarakat yang beradab. Kaum muslimin menjadi hilang kepercayaan dirinya bahwa agamanya memiliki risalah lengkap dalam menyelesaikan problematika umat manusia; bukan hanya dalam tataran norma dan nilai-nilai tetapi bahkan sampai pada tataran pelaksanaan praktis.

Ide dasar tentang keterbukaan, misalnya. Dalam sistem Islam, rakyat didorong untuk berani melakukan koreksi terhadap kekeliruan dan kezaliman penguasa. Rasulullah saw bersabda:

"Ketahuilah, demi Allah, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah penguasa melakukan kezaliman, memaksa mereka agar mengikuti kebenaran (syariat Islam), dan membatasinya dengan hanya melaksanakan kebenaran saja" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Negara Madinah:

Teori dan Konsep Negara Islam

Di kalangan Muslim Indonesia, diskursus tentang Piagam Madinah dan Negara Madinah, bukan barang asing. Di era Presiden Abdurrahman Wahid saat ini, diskursus tentang Negara Madinah itu kian merebak di kampus-kampus, kalangan gerakan Islam dan aktivis masjid. Tentang Negara Madinah ini, mungkin, hanya ada satu negara Islam yang paling ideal, yaitu Negara Madinah dengan Piagam Madinah-nya pada masa Rasulullah. Namun, untuk kebanyakan, Negeri Madinah ini hampir-hampir bagaikan "negeri dongeng" meski ada dalam sejarah.

Untuk menghindari "dongengisasi," maka ada baiknya diajukan contoh negara Islam lain di jantung Eropa: Spanyol zaman Islam (Islamic Spain). Negeri Muslim dan umat Muslim di Spanyol merupakan salah satu wilayah yang paling jauh dari jantung dunia Islam, tetapi sangat toleran. Bernard Lewis menunjukkan bahwa Islam yang lebih awal itu, ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang tunggal, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum.

Kerja sama kultural ini tampak dalam banyak cara. Orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern. Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai- nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

Sejarah kaum Muslim, seperti halnya sejarah komunitas umat manusia manapun, selalu memiliki potensi untuk membuat kesalahan atau berbelok dari jalan yang benar. Selain karena truisme sederhana seperti yang dikatakan penyair Inggris Alexander Pope, yakni bahwa “berbuat salah itu manusiawi,” semua sejarah jelas dengan sendirinya adalah sejarah manusia, dan tidak ada seorang manusia biasa pun yang sakral dan suci.

Singkatnya, manusia pada dasarnya baik, tetapi ia juga lemah. Berkaitan dengan kelemahan ini, manusia memiliki potensi untuk mengubah dirinya menjadi seorang tiran, kapan saja ia memandang dirinya serba berkecukupan dan tidak lagi membutuhkan manusia-manusia lain. Terhadap prinsip ini, harus juga ditambahkan ajaran Islam yang sangat terkenal bahwa pada mulanya umat manusia adalah satu dan bahwa semua orang pada dasarnya sederajat. Dalam hal ini, kaum Muslim klasik seperti di Spanyol ini telah berhasil sepenuhnya menginternalisasikan konsepsi mengenai manusia yang positif dan optimistik seperti disebutkan di atas. Sebuah konsepsi yang kemudian menjadikan mereka komunitas yang demikian kosmopolit dan universalisnya, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain.

Demikianlah, peran kaum Muslim yang awal sebagai salah satu di antara beberapa komunitas yang menginternasionalisasi ilmu pengetahuan. Dalam setiap peradaban, orang-orang tertentu meneliti pada alam itu sendiri sebab-sebab perubahan yang menggejala, bukan pada kemauan manusia atau luar manusia .Meskipun demikian, sebelum orang-orang Arab mewarisi filsafat alam Yunani dan alkeni Cina, kemudian meneruskannya ke Barat, tidak ada badan tunggal ilmu pengetahuan alam yang diteruskan dari satu peradaban ke peradaban lain. Sebaliknya, dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalan sendiri-sendiri. Para filsuf Yunani dan Cina memberi penjelasan yang berbeda tentang dunia fisik yang sama. Sebagian besar hasil usaha itu pertama-tama diserap oleh Islam, yang dari tahun 750 M hingga akhir Zaman Tengah terbentang dari Spanyol hingga Turkestan. Orang-orang Arab menyatupadukan badan ilmu pengetahuan yang luas itu dan menambahnya. Dalam kesepakatan lain, hal senada yang juga dikemukakan demikian: adalah kelebihan orang-orang Arab bahwa, meskipun mereka merupakan para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina, bahkan Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Sebagai ilustrasi, segera setelah diketemukan, kekayaan kebudayaan Syiria, Persia, dan Hindu mereka salin ke dalam bahasa Arab. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam (non-Islamic learning) yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya. Dalam konteks Indonesia ketika negara ini berada di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, di mana berbagai kemajemukan kini mengalami pengeroposan dan kerusuhan merebak, dari Ambon, Maluku, Mataram sampai kawasan lain, kita tidak perlu lagi mempersoalkan pluralitas pengikut Kristen, dan Muslim serta Yahudi, tiga agama Ibrahim itu. Yang dibutuhkan adalahlead ership (kepemimpinan) Gus Dur untuk mengatasi krisis ekonomi, sosial dan politik-ideologis, dengan mendayagunakan pluralitas (kemajemukan) itu, jangan sampai pemerintahannya mengalami breakdown of economic, political and social-cultural policy making, yang justru bisa menimbulkan konflik horisontal pada tingkat menengah ke bawah. Pada aras ini, prinsip dan nilai-nilai Negara Madinah (Piagam Madinah) yang sering diartikulasikan Gus Dur (dan Cak Nurcholish Madjid), semestinya dipraksiskan dan disosialisasikan pemerintahan Gus Dur agar salah pengertian danphobia tentang Islam di kalangan non-Muslim bisa diminimalisasikan Mudah-mudahan apa yang dikemukakan di sini bisa sedikit mereduksi kengerian akan bayangan sistem Negara Madinah (Islam) di Indonesia, di mana kini para tokoh Muslim menjadi pemimpinnya yakni Gus Dur, Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR). Pada level wacana, Phobia Islam sebaiknya disikapi dengan pemahaman ilmu pengetahuan, akal budi dan logika. Islam menjamin pluralisme. Bukankah Islam rahmatan lil alamin? Di bawah era Presiden Abdurrahman Wahid, ternyata gagasan "jalan ketiga” Anthony Giddens menjadi wacana (discourse) memikat di kalangan kaum pro demokrasi, kalangan santri dan aktivis Islam. Politik “jalan ketiga” adalah representasi dari pembaharuan demokrasi sosial. Politik “jalan ketiga”, demikian Giddens, diperlukan karena masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis

kanan dalam politik sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari elite kiri yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga tidak memadai karena mengandung banyak kontradiksi. Pandangan politik aliran tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu menampung politik kiri maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil pembaruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi pusat perhatian. Menanggapi gagasan brilian Giddens dalam konteks masyarakat Barat itu, Profesor Chibli Mallat, ahli politik Lebanon, mengatakan konsepsi "jalan ketiga" Anthony Giddens sebagai konsepsi politik yang baru. Namun Giddens dinilai telah mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, slogan "jalan ketiga" Giddens itu sudah berkumandang di negara-negara Muslim. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya dengan menegaskan bahwa "jalan ketiga" adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri), tidak Blok Barat maupun Blok Timur (laa syarqiyah wa laa gharbiyah). Profesor Mallat mencatat, dalam sejarah abad ke-XX, "jalan ketiga" adalah nama lain dari Nazisme Jerman dan Fasisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi komunisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (AS). Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut "jalan ketiga" lebih menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural. Dengan menyimak gagasan Giddens dan tanggapan Mallat itu, saya kira, ada baiknya para inteligensia Muslim kini harus mencermati “jalan ketiga” yang kontekstual dengan Indonesia, di mana pluralitas (kemajemukan) sangatlah sarat kompleksitas. Tentang Islam dalam hubungannya dengan “jalan ketiga” Giddens itu, saya ingin meminjam diskursus Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam yang lebih awal di era Cordova Spanyol, sangatlah toleran. Saya kira, di Indonesia Islam yang lebih awal itu datang dengan jalan damai melalui perdagangan. Dan sebagaimana di zaman Islam Cordova Spanyol, di Indonesia pun Islam awal ini ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Cina. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang beradab, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum. Kerja sama kultural ini, seperti dicatat Anthony Reid, tampak dalam banyak cara orang-orang Islam, Hindu-Budha dan Kristen menjalankan kehidupan dan kebudayaan. Bahkan di era pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan, kaum pluralis ini berjuang dalam spirit Sumpah Pemuda. Dan sampai era demokrasi parlementer Bung Karno pada 1950-an, kaum Muslim dan non-Muslim itu hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi, karena pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building) berjalan wajar. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern, yang sampai kurun 1950-an itu dijamin oleh konstitusi. Pada kurun waktu itu Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya.

Akan tetapi, di bawah Orde Baru Soeharto,semua itu mengalami keretakan:statebuilding (pembangunan negara) telah melebihi dan menghancurkan nation building (pembangunan bangsa). Negara kian represif dan hegemonik, melibas masyarakat di seluruh etnis, kelas, dan lapisan. Politik belah bambu dan regimentasi Orde Baru Soeharto meluluhlantakkan spirit kebangsaan dan kemanusiaan. Karena itu, para intelektual dan elite Islam harus mencari jalan keluar dari krisis-krisis sosial,ekonomi,politik dan ideologi dewasa ini, agar reformasi tidak mengalami stagnasi, agar bangsa ini tidak mengalami disintegrasi. Giddens menyebut politik “jalan ketiga” dengan menekankan “tak ada hak tanpa tanggung jawab”. Di dalam Islam era Rasululah, “tak ada hak tanpa tanggung jawab” itu teraksentuasikan dalam Piagam Madinah, yang menjamin kebebasan, persamaan dan keadilan. Di era Islam Cordova, Spanyol, spirit dan konsepsi “Piagam Madinah” itu kemudian menjadikan mereka komunitas yang pluralistik, kosmopolit dan universal, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain. Dalam konteks Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid ini, selain sumber non-Islam, maka Islam seyogyanya menjadi sumber inspirasi dan nilai untuk membentuk good governance dan supremasi hukum, yang merupakan suatu keharusan. Ini signifikan untuk mewujudkan apa yang disebut Anthony Giddens sebagai politik “jalan ketiga”, yang menekankan nilai-nilai peradaban untuk menghapuskan struktur ketimpangan. Tegaknya negara hukum dan terwujudnya good governance ini akan melandasi tegaknya demokrasi, politik emansipatoris dan keadilan sosial guna menjamin pluralitas (kemajemukan) yang kini dalam kerawanan.

Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Akan tetapi, ada satu konsep lagi yang pantas dijadikan wacana dan didiskusikan idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah. Negara Madinah ini merupakan alternatif dalam menghadapi keganasan kapitalisme di tingkat global, regional dan nasional yang telah menimbulkan dehumanisasi, yang oleh Peter Berger disebut piramida kurban manusia yang amat dahsyat atau disebut Herbert Marcuse telah membikin umat manusia menjadi “one dimentional man”, manusia satu dimensi. Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara atau Masyarakat Madani, maka perlu ada penjelasan teoritis. Berdasarkan diskursus Prof Dr Muhammad Thahir Azhary, saya melihat umat Islam Indonesia, melalui parti-partai politik Islam, perlu menghidupkan lagi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya, baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Dalam bukunya Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi)

atau negara modern.

Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada "hukum rimba". Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban (uncivilized state). Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh para politisi Islam yang bekerja sama bahu-membahu dengan orang-orang sekuler dalam membentuk suatu "negara sekuler" dalam bingkai nasionalisme. Dan itu sah saja. Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalahijma' ulama danqiyas. Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Ahmad Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syariah. Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antarasiyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyahialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Negara Madani ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Parlementer 1950-an di bawah Soekarno. Sedangkanarchetype Negara Madinah terbaik di masa modern adalah konsep siyasah diniyah, yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh Hassan Turabi di Sudan, mendiang Moh Ali Jinnah di Pakistan dan mendiang S.M. Kartosoewirjo di Indonesia. Mereka mencoba mengidealisasikan Negara Madinah, bukan Negara Madani yangnotabene adalah Negara Sekuler. Negara Madinah yang dibayangkan Ibnu Khaldun itu, lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai "satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen". Dalam pandangan Muslim, demikian Olivier Roy, Negara Madinah seperti itulah yang menjadi cita-cita ideal mayoritas umat Islam. Di Indonesia, jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka kehadirannya akan kehilangan signifikansi. Dan, lebih dari itu, secara ideologis partai-partai Islam tidak memihak sedikit pun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Saya yakin, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah memperdebatkan tentang konsep Negara Madinah dan Negara Madani (sekuler) ini sebelumnya. Karena dari banyak pernyataan-pernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orang-orang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga rakyat kepada politisi berjiwa singa dan buaya. Maka, tidaklah berlebihan, —dengan menggunakan konsep teoritis Samuel Huntington,

the clash of civilization (perbenturan atau pertarungan peradaban) antara peradaban "madani" dan peradaban "madinah"— jika sekarang ini kita sebut sebagai pertarungan ideologis antara konsep ideologi negara sekuler dan negara agama (Islam), antara partai- partai politik Islam dan partai-partai politik sekuler.

Pada hemat saya, berdasarkan teori nomokrasi Islam (rechstaat) dari Ibnu Khaldun tentang siyasah diniyah yang merupakan tipe ideal dari mulk siyasi, maka perdebatan tentang Negara Madinah itu kini ditunggu publik politik. Namun, untuk membawa wacana Negara Madinah ini ke ruang publik guna diperdebatkan secara terbuka danfair di era KH Abdurrahman Wahid dulu hingga kini, ternyata sulit dan tergantung pada situasi, sejarah dan realitas obyektif yang mengitarinya. Aceh dapat menjadi sebuah titik tolak untuk eksperimen Negara Islam dalam konteks mikro.

Dalam sebuah surat di tahun 1953, seorang pengamat politik, Boyd R. Compton, menuliskan sesuatu yang tak terduga tentang Aceh: "Sungguhkah keadaan Aceh rawan pada saat ini? Daud Beureueh menandaskan, desas-desus tentang ketidakpuasan yang pecah di Aceh itu, dihembuskan oleh kaum feodal yang kehilangan kekuasaan selama revolusi."

"Selain itu, adalahngawur pikiran bahwa Daud Beureueh mau menerima posisi rendahan di bawah Kartosuwirjo Darul Islam. Sulit pula dibayangkan para tokoh kuat PUSA menyingkir ke pegunungan untuk melancarkan kampanye gerilya gelap melawan pemerintah. Posisi runding mereka dalam berhadapan langsung dengan pemerintah pusat sekarang ini cukup kuat untuk menegaskan keinginan-keinginan secara damai. Namun, tentu saja, tidak ada kepastian bahwa pimpinan PUSA berpikir demikian."

Compton selanjutnya memprediksikan bahwa, "Saya menyatakan, kedamaian dan ketenangan di Aceh agaknya lebih bersifat tak nyaman ketimbang memperlihatkan kegelisahan terbuka. Saya memperoleh kesan umum dari kunjungan singkat ini, bahwa Daud Beureueh dan tokoh-tokoh PUSA memegang kontrol kuat atas pengikut mereka; ketenteraman di Aceh mungkin sekadar menunjukkan bahwa umat Islam Aceh mentaati perintah para pemimpin mereka dan menunggu semacam perkembangan lebih lanjut. Seandainya benar demikian, alternatif-alternatif di Aceh agaknya adalah perdamaian yang terus berlanjut, atau jihad suci menegakkan Negara Islam besar-besaran dan terkoordinasi di masa datang yang cukup jauh."

Laporan di atas menggambarkan sebuah keadaan Aceh di masa lalu dalam periode yang sedang berubah. Mungkin tidaklah terlalu jauh berbeda jika sekarang gambaran yang sama akan muncul kembali. Untuk menelusuri akar perdebatan konsep negara madani atau masyarakat madani dan negara madinah, maka kita perlu memahami adanya pembelahan kaum intelektual yang menjadi "sumur watershed" sumber berbagai inspirasi. Di samping kelompok kaum cendekiawan yang merupakan sumber dari pemikiran politik dalam masa kini, ada suatu kelompok penting lain yang terdiri atas

orang-orang yang terikat pada partai-partai politik.

Dengan pesatnya perubahan masyarakat serta nilai-nilai sosial, banyak sekali orang, terutama kaum muda yang telah mendapat pendidikan modern, mencari jawaban berdasarkan ideologi berupa kepercayaan-kepercayaan baru, alasan-alasan kuat guna menjawab tantangan-tantangan yang diajukan oleh kepercayaan-kepercayaan yang mereka warisi dari keluarga serta kelompok-kelompok mereka. Dan dalam periode ini, mereka dapat menjumpainya dalam partai-partai politik. Maka persaingan antara partai- partai tersebut merupakan pertarungan ideologis sistem-sistem gagasan. Namun, persaingan sebenarnya terdapat dalam lapangan pertempuran di gunung-gunung yang dilakukan para pejuang, kaum mujahidin dan sebagainya. Kalau di Aceh, lapangan perjuangan ini dinamakan sebagaiglee (hutan rimba); dan orang-orang-orang yang melakukan perjuangan ini dinamakan ureung glee (orang yang bergerilya di hutan) atau ureung ateuh (kaum gerilyawan).

Pertempuran di gunung-gemunung itu hampir tak menyiratkan konsep wacana ideologi apa yang mereka perjuangkan. Mungkin sekadar mensimplifikasi persoalan, maka konsep negara yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang jauh berbeda atau berlawanan dengan konsep yang selama ini dijalankan oleh Republik Indonesia. Maka, dengan segala keterbatasan itu pula kami mencoba melihatnya dengan wacana konsep Negara Islam atau Negara Madinah dan wacana konsep Negara Sekuler atau Negara Madani.

Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara atau Masyarakat Madani, maka perlu ada sedikit penjelasan teoritis tentang hal ini. Berdasarkan disertasi Prof Dr Muhmmad Thahir Azhary, saya melihat umat Islam Indonesia, melalui parti-partai politik Islam, perlu menghidupkan lagi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya, baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Dalam bukunya Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern.

Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada "hukum rimba". Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban (uncivilized state).

Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh orang-orang Islam yang bekerja sama bahu- membahu dengan orang-orang kafir dalam membentuk suatu "negara musyrik".

Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalahijma' ulama danqiyas. Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syariah.

Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antarasiyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyahia lah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Negara Madani ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno (1959-1965). Sedangkana rch etyp e Negara Islam terbaik adalah konsepsiyasah diniyah. Yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo adalah nomokrasi Islam berdasarkan konsepsi siyasah diniyah ini. Negara Diniyah inilah yang dicoba pertahankan oleh para pejuang dan syuhada Islam Indonesia di masa lalu, bukan Negara Madani yangnotabene adalah Negara Sekuler atau dalam sebutan yang lebih emosional adalah Negara Syaitan. Dari ketiga tipe negara yang termasuk ke dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoritis Ibnu Khaldun lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai "satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen". Negara Islam seperti itulah yang menjadi cita-cita ideal seluruh umat manusia. Berdasarkan kerangka teoritis nomokrasi Islam (rechstaat) dari Ibnu Khaldun tentang siyasah diniyah yang merupakan tipe ideal dari mulk siyasi, maka perdebatan tentang Negara Islam sudah waktunya untuk dibuka kembali. Jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka kehadirannya akan kehilangan signifikansi. Dan, lebih dari itu, secara ideologis partai-partai Islam tidak memihak sedikit pun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Saya yakin, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah mendengar tentang konsep Negara Diniyah atau Negara Madinah atau konsep Negara Madani ini sebelumnya. Karena dari banyak pernyataan-pernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orang-orang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga kepada singa dan buaya. Maka, tidaklah berlebihan, —dengan menggunakan konsep teoritis Samuel Huntington, the clash of civilization (perbenturan atau pertarungan peradaban) antara peradaban "madani" dan peradaban "madinah"— jika sekarang ini kita sebut sebagai pertarungan ideologis antara konsep ideologi negara sekuler dan negara Islam, antara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik sekuler, antara partai politik dan front pembebasan atau seccesionist movement. Tentu saja uraian ringkas ini belum memberikan bekas yang mendalam bagi pergulatan pemikiran politik umat manusia. Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Padahal ada satu konsep lagi yang pantas dibahas idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah.


PENGERTIAN MUNAKAHAT (PERNIKAHAN )

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.

Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.

Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :

Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .” (An - Nisa : 3).

Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.

2. HUKUM DAN DALILNYA

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.

a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.

b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.

Sabda Nabi Muhammad SAW. :

Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).

c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.

Firman Allah SWT :

Hendaklah menahan diri orang - orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)

d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.

e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

3. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT

Rukun nikah ada lima macam, yaitu :

a. Calon suami

Calon suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :

1) Beragama Islam

2) Benar - benar pria

3) Tidak dipaksa

4) Bukan mahram calon istri

5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

6) Usia sekurang - kurangnya 19 Tahun

b. Calon istri

Calon istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :

1) Beragama Islam

2) Benar - benar perempuan

3) Tidak dipaksa,

4) Halal bagi calon suami

5) Bukan mahram calon suami

6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

7) Usia sekurang - kurangnya 16 Tahun

c. Wali

Wali harus memenuhi syarat - syarat sebagi berikut :

1) Beragama Islam

2) Baligh (dewasa)

3) Berakal Sehat

4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

5) Adil (tidak fasik)

6) Mempunyai hak untuk menjadi wali

7) Laki - laki

d. Dua orang saksi

Dua orang saksi harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :

1) Islam

2) Baligh (dewasa)

3) Berakal Sehat

4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

5) Adil (tidak fasik)

6) Mengerti maksud akad nikah

7) Laki - laki

Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :

Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)

e. Ijab dan Qabul

ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).

4. HIKMAH DAN TUJUAN

1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa

Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.

Firman Allah SWT :

Dan diantara tanda - tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri - istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya.” (Ar Rum/30:21)

2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.

Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan - pebuatan maksiad.

3.Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan

Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari

yang satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan.

Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai kemanusiaan.

Pengertian Jinayat

Jinayah menurut fuqaha’ ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.

Penta’rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.

Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta’zir.

Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-

1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya

2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.

3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain.

4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.

5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan

Bab 2 : Bentuk Hukuman Yang Dikenakan Ke Atas Penjenayah

Mengikut peruntukan hukum syara’ yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith dan yang dikuatkuasakan dalam undang-undang jinayah syar’iyyah, penjenayah-penjenayah yang didakwa di bawah kes jinayah syar’iyyah apabila sabit kesalahannya di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta’zir.

Hukuman-hukuman ini adalah tertakluk kepada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penjenayah-penjenayah tersebut.

1. Hukuman Hudud

Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Baqarah, 2:229).

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud ialah:

a) Berzina, iaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syara’.

b) Menuduh orang berzina (qazaf), iaitu membuat tuduhan zina ke atas orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi.

c) Minum arak atau minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak, mabuk ataupun tidak.

d) Mencuri, iaitu memindahkan secara sembunyi harta alih dari jagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya dengan niat untuk menghilangkan harta itu dari jagaan atau milik tuannya.

e) Murtad, iaitu orang yang keluar dari agama Islam, sama ada dengan perbuatan atau dengan perkataan, atau dengan i’tiqad kepercayaan.

f) Merompak (hirabah), iiatu keluar seorang atau sekumpulan yang bertujuan untuk mengambil harta atau membunuh atau menakutkan dengan cara kekerasan.

g) Penderhaka (bughat), iaitu segolongan umat Islam yang melawan atau menderhaka kepada pemerintah yang menjalankan syari’at Islam dan hukum-hukum Islam.

2. Hukuman Qisas

Hukuman qisas adalah sama seperti hukuman hudud juga, iaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman qisas ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas.

Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan, mencederakan dibalas dengan mencederakan.

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman qisas ialah:

a) Membunuh orang lain dengan sengaja.

b) Menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain dengan sengaja.

c) Melukakan orang lain dengan sengaja. Hukuman membunuh orang lain dengan sengaja wajib dikenakan hukuman qisas ke atas si pembunuh dengan dibalas bunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kamu menjalankan hukuman qisas (balasan yang seimbang) dalam perkara orang-orang yang mati dibunuh.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)

Hukuman menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain atau melukakannya wajib dibalas dengan hukuman qisas mengikut kadar kecederaan atau luka seseorang itu juga mengikut jenis anggota yang dicederakan dan dilukakan tadi.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalam kitab Taurat itu, bahawasanya jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dibalas dengan mata, dan hidung dibalas dengan hidung, dan telinga dibalas dengan telinga, dan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka juga hendaklah dibalas (seimbang). Tetapi sesiapa yang melepaskan hak membalasnya, maka menjadilah ia penebus dosa baginya. Dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Ma’idah: 45)

3. Hukuman Diyat

Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh penjenayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jenayah yang dilakukan oleh penjenayah ke atas mangsanya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan dengan kesalahan qisas dan ia sebagai gantirugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan atau melukakannya.

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:

a) Pembunuhan yang serupa sengaja.

b) Pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja).

c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau waris orang yang dibunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Maka sesiapa (pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaranya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yang baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. Sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab siksa yang tidak terperi sakitnya.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)

4. Hukuman Ta’zir

Hukuman ta’zir ialah kesalahan-kesalahan yang hukumannya merupakan dera, iaitu penjenayah-penjenayah tidak dijatuhkan hukuman hudud atau qisas. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan kadar atau bentuk hukuman itu di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith.

Hukuman ta’zir adalah dera ke atas penjenayah-penjenayah yang telah sabit kesalahannya dalam mahkamah dan hukumannya tidak dikenakan hukuman hudud atau qisas kerana kesalahan yang dilakukan itu tidak termasuk di bawah kes yang membolehkannya dijatuhkan hukuman hudud atau qisas.

Jenis, kadar dan bentuk hukuman ta’zir itu adalah terserah kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih hukuman yang patut dikenakan ke atas penjenayah-penjenayah itu kerana hukuman ta’zir itu adalah bertujuan untuk menghalang penjenayah-penjenayah mengulangi kembali kejahatan yang mereka lakukan tadi dan bukan untuk menyiksa mereka.

Assalamualaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Bismillahirrohmanirrohim

Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan 3 orang ikhwah mengenai kufu’ dalam pernikahan. Dari pendapat saya sempat terlontar bahwa setiap orang pada dasarnya sekufu’ selama yang bersangkutan adalah seorang muslim. Pendapat ini dinukil dari pendapat Imam Ali bin Abi Tholib r.a. bahwa :

“Manusia itu satu sama lain adalah kufu’, mereka yang Arab, yang bukan Arab, yang Kuraisy dan yang Hasyimi kalau sudah masuk Islam dan sudah beriman”

Namun untuk masalah kufu’ ditinjau dari segi Fiqih Munakahat sendiri, sudah dijabarkan cukup jelas. Berikut adalah penjelasan kufu’ dalam Fiqih Munakahat.

Sekufu dalam arti bahasa adalah sepadan, sama atau menyerupai. Yang dimaksud dengan sepadan dan menyerupai di sini adalah persamaan antara kedua calon mempelai dalam 5 perkara :

Pertama, dalam agamanya. Seorang laki-laki fasik yang keji tidaklah sepadan dengan seorang wanita yang suci dan adil. Karena laki-laki fasikdalam persaksian dan beritanya tidak dapat diterima. Ini merupakan salah satu kekurangan yang sangat manusiawi.

Kedua, keturunan atau segi keluarga. Orang asing (bukan keturunan Arab) tidak sepadan dengan orang yang keturunan dari bangsa Arab.

Ketiga, merdeka. Orang yang mempunyai status sebagai hamba sahaya atau seorang budak belia tidaklah sepadan dengan orang yang merdeka. Karena ia memiliki kekurangan yaitu statusnya dalam kepemilikan orang lain.

Keempat, profesi. Orang yang memiliki profesi yang rendah seperti tukang bekam atau tukang tenun, tidaklah sepadan dengan putri seorang yang memiliki profesi besar seperti saudagar dan pedagang kaya.

Kelima, memenuhi permintaan dari pihak wanita. Yaitu, bisa memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang ditentukan dari pihak wanita tersebut. Demikian juga dengan orang serba susah hidupnya, tidaklah sepadan dengan wanita yang biasa hidup bergelimangan harta. Karena hal ini bisa menimbulkan bahaya yang tidak sedikit jika tidak terpenuhi nafkah yang ia butuhkan.

Jika didapati dari salah satu calon mempelai memiliki satu dari lima kategori di atas, maka kesamaan tersebut telah dianggap terpenuhi. Hal ini tidak berpengaruh pada keabsahan atau sahnya akad nikah yang dilakukan. Karena, sesungguhnya sekufu’ itu tidak termasuk syarat sah nikah, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan Fatimah binti Qois untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Dan Fatimah pun menikah dengannya. Demikian yang dijelaskan dalam hadist riwayat muttafaq alaih.

  • PENGERTIAN JUAL BELI

Bahasa : saling menukar

Istilah : pertukaran harta atas dasar saling rela atau ridho dengan cara dan syarat tetentu.

Penjual = Ba’ialah

Pembeli = Musytari

Dasar Hukum Jual Beli = Mubah (boleh)

Dalil Jual Beli :

1. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa : 29)

2. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqoroh : 275)

  • UTANG PIUTANG
  • PENGERTIAN DAN HUKUM
    • Pengertian :

Utang : yang dipinjam dari orang lain

Piutang : yg dipinjamkan kpd oang lain

Utang Piutang = Addain

·

    • Hukum :

- Sunat

- wajib, spt kelaparan, utk menebus obat, dll

QS. AL-BAQOROH : 282

  • Utang piutang ditulis dengan baik dan benar
  • Notulen jangan enggan menulis pinjaman utang, baik jumlah besar ataupun kecil
  • Yg berutang membacakan apa yg ditulis atau dibacakan oleh walinya dg jujur
  • Yg berutang tdk boleh mengurangi utangnya sedikitpun
  • Disaksikan oleh 2 orang saksi laki-laki atau 1 orang lk dan 2 orang perempuan, atau 4 orang pr
  • Antara saksi dan notulen saling memudahlan
  • GADAI
  • Gadai ialah pinjam meminjam uang dalam batas waktu tertentu dg menyerahkan barang sebagai tanggungan utang (agunan)
  • Hukum gadai = Mubah
  • Ketentuan Gadai :

* yg melakukan gadai berakal sehat

* agunan/gadaian hrs ada saat transaksi

* agunan dipegang oleh yg terima gadaian

* tdk boleh memanfaatkan agunan mati

* boleh memanfaatkan agunan hidup

* jika batas waktu habis, yg pegang gadai boleh menjualnya

* anak barang gadaian(sapi,dsb) jadi milik yg menggadaikan (biaya jadi tanggungan penggadai)

  • UPAH
  • Upah (Ajru) = gaji / imbalan : ialah uang/harta yg dibayarkan sbg balas jasa atau sbg pembayar tenaga yg sdh dikeluarkan utk mengerjakan sesuatu.
  • Dalilnya :

1. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu utkmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya(QS.Ath-tholaq:6)

2. “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah)

  • Rukun dan Syarat Upah :

1. Ijab dan Qabul

2. Pengupah atau penerima Upah dg syarat :

- Berakal

- kehendak sendiri

- balig

3. Bermanfaat

  • SEWA
  • Sewa / Ijaroh : ialah uang yg dibayarkan karena memakai/meminjam sesuatu.
  • Rukun dan Syarat sewa :

1. Ijab dan Qabul

2. Penyewa atau yg menyewakan

3. Bermanfaat

* Sewa yg Haram : menyewa pembunuh bayaran, menyewa utk menyebar fitnah

  • RIBA
  • Riba (tambahan) : yaitu keuntungan yg diperoleh dengan meminjamkan uang atau benda yg disyaratkan pengembaliannya harus lebih

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. 2:279)

  • Riba hukumnya : HARAM termasuk dosa besar

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS.2 : 278)

  • Macam-macam Riba :

* Riba Fadhal : tukar menukar barang yg sejenis dengan ada kelebihan di salah satu pihak

* Riba Yad : antara penjual dan pembeli belum serah terima, lalu barang tsb dijual kpd orang lain

* Riba Qiradh : kelebihan pembayaran

* Riba Nasiah : jual beli atau pinjaman uang yg dilambatkan pembayarannya dg pembayaran lebih.