gambar

Entri Populer

jam

Senin, 20 Desember 2010

Civil Society Palsu


DEMONSTRASI mahasiswa di pelbagai daerah sering ricuh. Blokade jalan, bentrok dengan polisi, serta perusakan fasilitas umum memunculkan stigma terhadap mahasiswa. Cita-cita luhur mengawal demokrasi, hak asasi manusia, menyikapi kebijakan pemerintah yang menyeleweng, serta menyoroti problem kemiskinan dan kelemahan mutu pendidikan, sekaligus jadi motor penggerak revolusi sosial pendobrak tirani terdegradasi oleh mosi tak percaya masyarakat terhadap aksi anarkisme.

Masyarakat menganggap mahasiswa biang kerok di jalan, yang akan lebih jinak jika tetap duduk di kampus. Itu perlu dibenahi. Negara memang menjamin kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, seperti tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Namun kebebasan juga dibatasi oleh hak dan kepentingan orang lain agar tak berbenturan, sehingga berjalan sinergis dan dinamis.

Karena itu setiap orang yang hendak unjuk rasa harus menaati UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Demonstrasi. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual, tentu sadar betul hal itu.

Demonstrasi ricuh akibat kelemaahan manajemen aksi di lapangan. Ada beberapa langkah untuk menghindari bentrok fisik. Pertama, massa perlu menyatukan persepsi bahwa demo dilakukan secara damai. Kedua, orator tak menggunakan bahasa provokatif yang menyulut kemarahan. Ketiga, koordinator lapangan perlu mengawasi secara intens para demonstran sehingga tak ada orang yang menyusup untuk memprovokasi.

Kini, tinggal mahasiswa mampu atau tidak memanfaatkan media berdemonstrasi sebagai penyalur aspirasi dan aspirasi tak bias ketika disampaikan. Acap isu atau pesan dalam demonstrasi kabur, bahkan tak sampai ke khalayak, karena media hanya meliput demonstrasi yang ricuh.

Perlu pula mewaspadai fenomena “civil society palsu”. Tayangan “Kick Andy” pernah mengungkap keberadaan calo penggelar demonstrasi. Semua tergantung pada pesanan.

Jika ingin anarkis, tarif lebih mahal. Karena itu, mahasiswa dan masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif. Tak mudah tersulut isu sehingga tak menjadi kambing hitam, terombang-ambing parodi politik, yang sarat kepentingan elite penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar