gambar

Entri Populer

jam

Senin, 13 Desember 2010

hukum islam

SYARIAH ISLAM DAN KONSTITUSIONAL MODERN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah PAI 3 yang diampu oleh Bpk. Nasukha


Di susun oleh :
1) Cholisatun nadhiroh (NIM: 1209007)
2) Dwi nurohman (NIM: 1209008)
3) Fatahilah ibnu afriyadi (NIM: 1209009)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(PRODI FISIKA)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2010



BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang masalah

Negara Indonesia adalah sebuah negara yang terbentuk dari banyaknya pluralisme yang tersebar diseluruh penjuru bangsa, misalnya saja adalah keanekaragaman sebuah kepercayaan atau biasa yang kita sebut dengan agama (Islam, kristen, protestan, budha, hindu). Namun, mayoritas penduduk bangsa Indonesia beragama Islam pertanyaan yang menyeruak kepermukaan adalah apakah konsep negara Indonesia???Mengikuti syariah Islam dalam tatanan negaranya ataukah tidak??
Dalam kenyataannya, Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inkonstitusional?
Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekedar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Dari sebagian potongan dalil diatas bisa kita jadikan sebagai indikasi bahwa dalam ajaran agama islam terdapat himbauan untuk mendirikan negara islam dalam konstektual tertentu.
Bahkan, seiring bergulirnya gerakan civi society dan demokratisasi, hadirnya pemikiran hukum Islam alternatif dapat dimaknai sebagai fiqih pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat yang berbudaya (civilized) dengan membangun penguatan dan interpendensi yang cukup tnggi, sehingga tidak tergantung pada melodi kebijakan negar dan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis. Hal ini sangat mungkin bisa terjadi karena watak eksklusig pemikiran hukum islam yang mengarah pada suatu gerakan deidiologi fiqh, sebagaimana terlihat dalam catatan sejarah, terbukti telah mampu menempatkan wilayah hukum Islam di luar mainsteram proses pembakuan pengintegerasian hukum Islam ke dalam struktur negara.
Kemudian, apakah mungkin bahwa sistem ataupun konsep negara Indonesia adalah berdasarkan syariah Islam? Secara keseluruhan atau gabungan antara “Dunia Barat” dengan “Dunia Islam” ? inilah yang melatar belakangi penelusuran kami dalam makalah ini.

II. Permasalahan
• Seperti apakah sebenarnya keterkaitan antara “Syariah Islam” terhadap “Kontitusional Modern” ?
• Bagaimanakah dengan Negara Indonesia, apakah bangsa Indonesia termassuk dalam negara dengan sistem dan konsep tatanan negara berdasarkan syariah islam ?

• Dimanakah bukti nyata ataukah konkrit bahwa “ya” dan “tidak”nya syariah islam dalam tatanan sistem pemerintahan indonesia ?
• Dari kacamata luar dengan pluralisme yang ada di indonesia bagaimana cara jika membangun negara islam dalam indonesia ? mungkinkah terwujud atau tidak ? bahkan mungkinkah sudah terjadi ?








BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam
a) Pengertian hukum islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia.
b) Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum islam baik dalam pengertian syaariatr maupun fikih di bagi menjadi dua baagian besar, yaitu: Ibadah (mahdhah) dan muamalah (ghairu mahdhah).
1) Ibadah (mahdhah) adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang muslim dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata caara dan upacara ini tetap, tidak ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah di atur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secaara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara beribadat. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan aalat-alat modern dalam pelaksanaannya.
2) Muamalah (ghairu mahdhah) dal.a pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu.
c) Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemashlahaatan bagi mereka; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di duniaa dan di akhirat dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup maaupun kehidupan manusia. Ada lima tujuan hukum islam, yaitu:
Ø Agama
Ø Jiwa
Ø Akal
Ø Harta, yang disebut “maqasid al-khamsah”
1) Memelihara agama
Beragama merupakan kebutuhan manusia yang dapat mnyenntuh nurani manusia. Agama akidah, syariah dan akhlak ataun mencampuradukkan ajaran agama islam dengan pham atau aliran bathil. Agama islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agam islam tidak m,emaksakan pemeluk agama lain memeluk agama islam.
2) Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindung. Uuntuk itu hukum islam wajjib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hhukum islam mekarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan manusia untuk mempertahankan kemashlahatan hidupnya.
3) Memelihara akal
Menurut hukum islam seseeorang wajib memelihara akalnya kerana akal mempunya peranan yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya, maanusia dapat memahami waahyu Allah baik yang terdapat daalam kitab suci ataupun ayat-ayat Allah yang terdapat di alam. Dengamn akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmmu pengetahuan daan teknologi.seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum islam dengan baik daan benar tanpa menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum islam. Untuk itu, hukum islam melarang oraang meminum minuman yang memabukkan dan memberikan hukuman pada perbuatan yang merusak akal.
4) Memelihara keturunan
Dalam hukum islam, memelihara ketuurunan adaalah hal yang sangat penting. Untuk itu dalam hukumislam untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang aada dalam al quran dan as sunah dan dilarang melakukan perbuatan zina.
5) Memelihhara harta
Menurut hukum islam, harta merupakan pemberiaan Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu, manusia sebaga khalifah Allah di muka bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mmengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haaknya untuk memperooleh harta dengan cara-cara yang halal artinnnya menurut hukumdaan benar menurut ukuran moral.
d) Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59,
“wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:
1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.
2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.
4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1) Al Quran
2) Sunah atau hadits Rasul
3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal ‘aqdi (legislatif), amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing konsensus kolektif (ijma’)
4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran kemmbali jika terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikaasikan menjadi dua jenis:
1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah
2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia.
B. Politik Islam
a) Pengertian politik islam
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
b) Realitas politik Islam yang berkembang
Realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi.
Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.


C. Politik Modern
Banyak sekali tipe, jenis, cara, sistem ataupun metode dalam berpolitik modern. Namun yang tengah trend di kalangan poolitikus dan negara di dunia adalah sistem demokrasi. Berikut penalaran sistem demokkrasi :
 Demokrasi konstitusional
Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%). Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.
Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen. Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan.
Pada tahun 1579 terbit sebuah buku berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu. Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Hugo Grotius (1583-1645M) dan Thomas Hobbes (1588-1679M).
Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
D. Negara dalam Islam
a) Teori Negara Islam
Istilah negara atau state pada masa modern berasal dari status yaitu perkataan Latin (stato dalam bahasa Itali, etat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris). Menurut Webster’s Dictionary, Negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat. Sedangkan menurut Ziya Gokalp, negara berarti suatu otoritas publik yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan peraturan–peraturan hukumnya atas individu–individu yang keselamatannya di bawah naungan (negara itu). Oleh karena itu tujuan penciptaan suatu negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat demi kepentingan hidup kolektif manusia itu sendiri.
Dalam pandangan Marxis sebagaimana yang dirumuskan Lenin sebaliknya mengatakan bahwa negara adalah buah dari manifestasi dari antagonisme kelas yang tidak dapat didamaikan. Kemudian Lenin mengatakan menurut Marx, negara adalah suatu organ penguasaan kelas, suatu organ pemerasan satu terhadap yang lain, tujuannya ialah penciptaan ketertiban yang membenarkan secara hukum dan melangsungkan pemerasan ini dengan cara melunakkan tantangan antar kelas–kelas itu. Teori ini menginginkan penghapusan negara dan bertujuan menciptakan suatu masyarakat tanpa negara sebagai tingkat akhir dari revolusi komunis. Bila dilihat dari sudut pandang seorang muslim tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran, yaitu bahwa suatu Negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua. Berbeda dengan pandangan Marxis, dalam sebuah Negara Islam yang sebenarnya, teori antagonisme kelas, dominasi kelas, dan teori tentang eksploitasi satu kelompok oleh kelompok yang lain. Sama sekali tidak dapat dibayangkan karena hal itu akan menghancurkan prinsip–prinsip dan perintah–perintah moral Al-Qur’an mengenai suatu tata tertib sosial dinamis yang etis. Segala bentuk dominasi dan eksploitasi tidak dapat dibenarkan secara etis tetapi harus dikutuk secara keras dan dikikis habis dengan radikal, karena semua itu berlawanan dengan prinsip kemuliaan manusia.
Setelah disandingkan dengan Islam yaitu menjadi Negara Islam, kedua kata ini sangat populis dan membuat interpretasi–interpretasi tersendiri oleh para ahli. Baik oleh pemikir Islam besar dunia seperti Abu ‘Ala Al-Maududi, Muhammad Assad, Jamaluddin Al-Afghani, Ayatullah Khomeini, dan lainnya. Dalam konteks perkembangan sejarah Indonesia, mulai dari prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan istilah Negara Islam muncul dan bahkan menjadi perdebatan sengit diantara para Founding Father dalam merumuskan dasar negara Indonesia.
b) Kedudukan Negara dalam Islam
Salah satu kesuksesan negara Barat atas negara-negara Islam adalah berhasil menanamkan ide “ Islam adalah agama, bukan Negara” pada kaum muslimin. Agama adalah teologi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Adapun urusan negara cukup diatur oleh akal manusia saja dan tidak perlu campur tangan agama. Paham yang memisahkan Negara dengan agama ini kemudian kita kenal dengan istilah Sekulerisme.
Mereka ( Negara barat ) ingin menerapkan pada Islam di Timur apa yang mereka lakukan terhadap Kristen di barat. Sebagaimana kebangkitan kristen di Barat diinspirasi dari pemisahan Negara dari agama, maka Barat merencanakan kebangkitan (baca: yang sebenarnya kehancuran) Islam dengan memisahkan agama dari negara.
Salah satu semboyan yang terus dilancarkan adalah agama untuk Tuhan, negara untuk rakyat. Dengan demikian agama harus terpisah dari Negara. Agama tidak punya ruang untuk ikut serta mengatur Negara.
Contoh Negara yang menyerap ide sekulerisme secara penuh adalah Turki yang dikomandani Kamal Ataruk. Turki berhasil memisahkan Negara dari agama setelah menghacurkan Khilafah Ustmaniyah: benteng terakhir yang dimiliki kaum muslimin.
Dalam Islam, negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama. Karena makna agama sebagaimana diungkapakan Dr. Amir abdul Aziz- mencakup Negara karena sifat Islam yang universal. Memisahkan agama dan Negara berarti memisahkan bagian esensial dari agama itu sendiri. (lih. Nidzamul Islam, Dr. Amir Abdul Aziz hal : 72). Salah satu dalil yang menunjukkan Islam adalah Agama dan Negara:
 Dalam Al-Quran
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Susungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha mengetahui (QS. An- Nisa:58)
Ayat diatas ditujukan kepada para penguasa untuk menjaga amanat, menegakkan keadilan, karena menghilangkan amanat dan keadilan akan merusak ummat dan Negara.

c) Konsep Negara dalam Islam ( ma’alim ad-Daulah al-latie Yubayyinuha al-Islam)
Disamping sebagai ajaran yang menjadi penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Islam juga menjadi rahmat bagi kehidupan manusia antara satu dan lainnya. Islam tidak hanya berusaha membentuk pribadi yang sholeh, keluarga sholeh, Islam juga memiliki konsep bagaimana mengatur sebuah negara menjadi negara yang sejahtera dan dirahmati Tuhan. Konsep Negara dalam Islam dapat kita lihat sebagai berikut:

 Negara Sipil yang Berasas Islam

Negara dalam Islam bukanlah negara agama (daulah diniyah) sebagaiman dikenal sebelum Islam. Juga bukan model Negara yang kita kenal setelah kedatangan Islam seperti negara sekuler.

Dalam negara agama kekuasaan negara dipegang oleh sekelompok tokoh agama (rijaaluddin) yang berkuasa atas nama Tuhan (al-hak al-ilahi). Seorang rijaluddin dalam Negara agama menjadi wakil tuhan dimuka bumi. Maka segala tindakan dan perkataannya suci dan sakral. Tidak ada satupun yang boleh membantah sekalipun tindakan tersebut keliru dan menyimpang dari ajaran agama itu sendiri.

Konsep Negara dalam Islam adalah Negara sipil yang berdasarkan ajaran Islam, ba`iat dan syuro (musyawarah mufakat). Penguasa dalam Negara Islam dipilih dari orang yang kuat dan amanah. Maka siapapun yang tidak memiliki ilmu dan tidak amanat tidak boleh menjadi pemimpin negara kecuali dalam keadaan darurat.

Islam sendiri tidak mengenal istilah pemegang agama (rijaaluddin) sebagaimana yang dikenal dalam agama lain. Islam hanya mengenal istilah ulama yang berkecimpung dalam berbagai macam ilmu keislaman.

Adapun hubungan ulama dengan Negara dalam Islam adalah adanya kewajiban bagi para ulama tersebut untuk memberi nasehat kepada pemimpin Negara. Kewajiban ini tidak terbatas kepada para ulama saja, melainkan untuk seluruh kaum muslimin. Dalam Islam setiap muslim bertanggung jawab atas agamanya.

“…sesungguhnya allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.(QS. Al-Hajj:40-41).

d) Ciri-ciri Negara Islam ( Thobieatu ad-Daulah fil al-Islam)

Salah satu ciri Negara Islam adalah sifat penguasanya yang tidak mutlak. Segala keputusan dan perkataanya tidak ada yang sacral . Ia boleh saja melakukan kesalahan. Dan kewajiban para ulamalah (khususnya) dan ummat pada umumnya untuk meluruskannya.

Seorang pemimipin dalam Negara Islam tunduk kepada hukum yang tidak ia ciptakan sendiri atau partainya melainkan tunduk kepada humum Tuhan ( ajaran Islam) yang diturun kepada semesta alam. Maka dengan demikian tidak ada seorang yang mendapat keringan untuk tidak menjalankan hukum syariat Islam.

Dalam Negara Islam rakyat berhak dan wajib menentang jika diperintah oleh pemimpinnya terhadap kekuasaannya. Kerena ketika bertentangan antara perintah tuhan dan perintah pemimipim maka humum tuhan harus didahulukan. Dan “ tidak ada ketaatan kepada makluk untuk maksiat kepada Allah”.

Abu Bakar berkata dalam khutbah baiatnya: “taatilah aku selagi aku taat kepada Allah, dan jika aku maksiat janganlahlah kamu mentaatiku. Jika aku benar maka bantulah aku, jika aku melakuan kesalahn tentanglah aku”.

Pemimpin negara Islam bukanlah wakil tuhan melainkan wakil ummat. Dan ummatlah yang memilihnya. Inilah yang membedakan antara Negara Islam dengan Negara agama. Dalam Negara agama, para pemimpin adalah wakil Tuhan yang semua tindakan dan ucapannya adalah mewakili tuhan yang tidak boleh salah.

E. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Indonesia
Hukum Islam ada dua sifat, yaitu:
• Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa
• At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai kondisi dan situasi sosial.
Dilihat dari sketsa historis, hukum islam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebelum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan hukum islam baggi umat islam berkobar, setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri melalui teori receptie.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukum islam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam perumusan dan penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjalanannya suatu ketentuan yang wajib menurut islam menjadi wajib pula menurut perundangan.
F. Syariah Islam dan Konstitusional Modern
a) Konstitusionalisme modern dalam konteks umat islam
Konsep konstitualisme modern dan implikasinya yang niscaya, mencerminkan kesepakatan pendapat umum saat ini, baik didalam maupuun diluar dunia islam. Karena konsep dan implikasinya ini telah diartikulasikan dan diaplikasikan secara sangat baik di negara-negar barat. Ini tidak berarti kontitualisme barat merupakan kontitualisme yang yang ideal dan ditiru oleh untuk diterapkan begitu saja oleh umat islam atau masyarakat lainnya di muka bumi. Namun, bagaimanapun juga, prestasi barat dalam hal ini perlu dihargai sebagai bagian dari keseluruhan pengalaman dan pengetahuan umat manusia. Dari situ umat islam dan masyrakat lain dapat mengambil dan mengadaptasinya, tentu disesuaikan dengan agama dan tradisi kultural yang mereka miliki.
b) Pertimbangan Umum
Kontitusi didefinisikan sebagai “hukum organik dan dasar suatu bangsa atau negara, yang menetapkan konsep pemerintahannya, mengorganisasikan pemerintahannya, mengorganisasikan pemerintahan, mengatur, membagi, dan membatasi fungsi departemen yang ada, serta menentukan cara kapan dan cara menggunakan kekuasaan”. Kontitualisme merupakan teori atau prinsip pemerintahan kontitusional, atau menganut teori tersebut. Dalam alur yang sama, sumber lain mendefinisikan kontitualisme sebagai prinsip “bahwa otoritas publik harus digunakan secara hukum; bahwa intitusi negara dan masyarakat (civic), kekuasaan esekutif dan legislatif, memiliki sumbernya dalam konstitusi yang harus dipatuhi dan tidak menyimpang dari gerak pemerintahan saat itu. Singkatnya, kontitualisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum (goverment by law), bukan pemerintahan oleh orang-orang (goverment by men).
Kontitualisme lebih sekedar dari pemerintahn yang sesuai dengan “konstitusi”. Sesuatu yang pantas disebut konstitusi harus tidak hanya menenkankan pembatasan-pembatasan yang efektif atas kekuasaan pemerintah dan mendesakkan kewajiban-kewajiban positif padanya, melainkan harus mendesakkan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Telah dikatakan bahwa konstitusi adalah “rakitan hukum-hukum, intitusi dan kebiasaan, yang di jabarkan dari prinsip-prinsip rasionalitasbaku tertentu,yang menyusun sistem umum, yang dengan sistem tersebut masyarakt setuju untuk diatur”.
Umat islam diseluruh dunia telah mewarisi bentuk pemerintahan ini dari pengalaman kolonial mereka dan mereka telah melanjutkan penyelenggaraan negara-bangsa mereka sendiri secara sukarela pada masa pasca kolonial nya.
Karena itu, penting untuk ditegaskan bahwa proses pemerintahan harus dikontrol oleh prinsip-prinsip yang lebih tinggi dan lebih fundamental, yakni prinsip yang menjamin hak-hak individu dan hak-hak berhadapan dengan kehendak manyoritas dengan membatalkan keabsahan tindakan leglislatif atau esekutif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
c) Pengalaman historis dan legitimasi kultural
Setiap negara didunia dewasa ini dapat dikatakan telah memiliki kontiutsi dalam pengertian peraturan dan pengaturan minimal yang melahirkan berbagai organ pemerintahan dan menentukan hubungan organ yang satu dan yang lainnya serta hubungan antara organ-organ itu dengan warga negara.
Cukup banyak negara-negara kontempore yang kurang memberikan perlindungan terhadap baik hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan kultural.
Sama sekali tidak diragukan, bahwa dalam membuat anlisis transkultural seperti konsep konstitualisme, seseorang harus menyadari bahaya-bahaya simplikasi dan asumsi yang berlebihan. Di satu sisi, seseorang harus berhati-hati untuk mencermati asumsi bahwa “model teoritik yang dibutuhkan bagi pertimbangan kualitatif transkultural menyangkut perilaku hukum, konstitusi, politik dan peradilan yang sudah terlebih dahulu ada dalam bentuk yang canggih di dunia barat”. Di sisi yang lain, seseorang juga harus memeriksa dengan teliti asumsi relativisme, bahwa setiap sistem kultural adalah unik dan terpisah dari komunitas dunia, yang tampaknya mempunyai kesamaan-kesamaan tetapi sebenarnya ditemukan renik-renik kekhasan di setiap negara. Dan studi perbandingan sistem perundang-undangan harus dianggap menyesatkan atau tidak bermakana.
d) Penilaian atas Negara Syariah historis sebagai negara kontitusional
Para perintis hukum syriah belum berpikir dari segi hukum positif (dengan membedakan dari norma-norma agama dan etnik), apalagi membedakan hukum konstitusional dan hukuum publik lain dan memperbincangkannya. Karena itu perlu menggunakan konsep dan implikasi-impliksi kontitualisme yang telah diuraikan sebelumnya, untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi prinsip-prinsip syariah terkait yang relevan.
Sumber teori paling otoritatif dibawah syariah adalah model negara Madinah yang dibangun sendiri oleh Nabi pada 622 M, dan diterapkan oleh empat kholifah penggantinya (al-khulafa al-rasyidin).
Terlepas apakah karakterisasikan dalam terminologi modern sebagai teokrasi atau nomokrasi. Negara Nabi di Madinah memiliki organisasi de facto yang khas yang harus dicontoh sepeniggalnya, yang tunduk pada modifikasi yang dibutuhkan karena berhentinya wahyu Allah. Sesuai dengan pandangan ini penguasa umat islam setelah Nabi disebut khalfa Rasul Allah”. Oleh karena itu, bagi manyoritas Sunni, khalifah adalah penerus peran Nabi sebagai penguasa politik tertinggi umat Islam, tanpa meneruskan perannya sebagai Nabi dan penerima petunjuk Allah.







BAB III
PENDAPAT-PENDAPAT
 Pendapat beberapa sumber
Tokoh/ latar belakang Nama tema Makna tema Kerangka dasar pemikiran Metode yang ditawarkan Sejumlah aplikasi pemikiran Hasil ijtihad
Hasbi ash-shiddieqy/ dosen/guru besar hukuum islam dan pakar dalam berbagai kajian islam lainnya (pegawai negri) Fiqih Indonesia Fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, yaitu sesuai dengan tabiat dan watak lokal masyarakat Indonesia. Keberadaan adapt Indonesia menjadi nilai yang harus di aneksassikan kedalam hokum hokum islam, sehingga ia cocok untuk masyarakat Indonesia Adaptabilitas hokum islam (penegakkan kembali peran ijtihad, konstektualisasi hokum islam, kemaslahatan berbasis keadilan sebagai tujuan hokum islam, liberalisasi hokum islam) -konstektualisasi fiqih mazhab (klasik), melalui metode komparasi (perbandingan)semua mazhab, hokum adapt dan hukum positif dan dengan memakai pendekatan social cultural histis
-penafsiran nas seacara langsung dengan memakai pola pemikiran induksi-deduksi secara terpadu Status hokum MTQ, jabata tangan, zakat, dll MTQ hukumnya tidak boleh, jabat t6angan laki” perempuan hukumnya boleh, zakat diurus Negara; Negara perlu juga menarik zakat dari non muslim; zakat dan paak tidak sama akan tetapi identik
Hazairin/dosen/guru besar hokum islam dan adapt (pegawwai negri) Fiqih mazhab nasional Sebuah upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hokum islam melalui penyelarsan nilai-nilai adat dengan huum islam, sehingga cocok dan pas diterapkan di Indonesia Adaptabilitas hokum islam (penegakkan kembali peran ijtihad, konstektualisasi hokum islam, kemaslahatan berbasis keadilan sebagai tujuan hokum islam, liberalisasi hokum islam) -rekontruksi penfsiran (tafsir otentik dengan memakai kerangka acu ilmu antropolgi
-konstektualisasi fiqih mazhab (klasik) melalui mazhab safi’I System keluarga dan kewarisan islam Hokum waris dalam islam menganut system bilateral; konsep ‘asabah’ tidak seharusnya dipertahankan; keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya kebawah sama kuatnya dengan keturunanmelalui anak laki-laki, dan seterusnya kebawah; perlunya ahli waris pengganti kedalam system kewarisan islam, dll.
Munawir sjadzali/ diplomat, mentri agama (birokrat, pegawai negri), guru besar politik islam Reaktualisasi ajaran islam Sebuah upaya konstektualisasi ajaran melalui reinterpretasi doktrin ajaran islam. Dengan upaya ini, hokum islam akan relevan dengan perubahan, sehiingga perilaku mendua daoat dihindari Adaptabilitas hokum islam (penegakkan kembali peran ijtihad, konstektualisasi hokum islam, kemaslahatan berbasis keadilan sebagai tujuan hokum islam, liberalisasi hokum islam) -rekontruksi penafsiran melalui reinterpretasi nas, dan dipakainya hemeneutika didalamnya
-usul fiqih yang ada sebagai spare part pembantu dalam ijtihad mandiri tersebut Kewarisan, status wanita, bunga bank, politik islam, dll Anak laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan bagian harta waris sama dan seanding, bunga bank halal, perempuan boleh menjadi pemimpin
Masdar faird mas’udi/ pengasuh pesantern, aktivis LSM dan NU (berafilinasike omop/swasta) Agama keadialan Sebuah upaya penegakkan kembali ciat-cita social islam melalui upaya pengembalian elemen dasar nilai kemaslahatan; keadilan social dan hak asasi manusia (egalitarianisme) didalam pembanguanan pemikiran hukunm islam (fiqih) Adaptabilitas hokum islam (penegakkan kembali peran ijtihad, konstektualisasi hokum islam, kemaslahatan berbasis keadilan sebagai tujuan hokum islam, liberalisasi hokum islam) -rekontruksi penafsiran, melalui rekontruksi konsep Qat?anni dipakanya hermeneutika didalamnya, dan dijadikannya masalahah sebagai prinsip sekaligus mode bantu dalam upaya rekontruksi tersebut Zakat(pajak) hak-hak reproduksi perrrempuan, dll. Perlunya intregasi zakat dan pajak, perempuan berhak meminta pelayanan seks dari suami, perempuan dan laki-laki sebanding, karena itu perempuan berhak pula menjadi presiden
Sahal mahfud/ dari pesantren, aktifis LSM, rais syuriah NU, ketua MUI (omop)- ali yafie/ otkoh NU dan MUI aktivis LSM, guru besar ilmu fiqih dab\n unsure fiqih Fiqih social Sebuah ikhtiar aktualisasi fiqih mazhab (tradisional) melalui upaya katualisasi nilai-nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna social yang terus berkembang tujuannya, membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi social atau fiqih yang dibangun berjaitan dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam masyarakat Adaptabilitas hokum islam (penegakkan kembali peran ijtihad, konstektualisasi hokum islam, kemaslahatan berbasis keadilan sebagai tujuan hokum islam, liberalisasi hokum islam) -kontektualisasi fiqih (klasik) terutama mazhab safi’I melalui ilh?aq,tarjih?dan komparasi (rbandingan mazhab)
-penafsiran (ijtihad) langsung melalui metode yang ditawarkan oleh imam mazhab
-dengan demikian metode penemuan hukumnya adalah pola bermashab qauli dan manhaji sekaligus Status hokum TRI, hak-hak reproduksi perempuan pajak, dan relasi fiqih dengan hokum positif. Tebu rakyat intensifikasi (TRI) merupakan transaksi ekonomi yang tidak sah (muamalah fasidah) dank arena itu haram dijalankan; hak reproduksi ditentukan oleh masyarakat bukan suami-istri, masyarakat berhak terlibat dalam pemgelolaan pajak(perlunya control kekuasaan), fiqih dan hokum positif berdiri sendiri(tak perlu diintegerasikan)

Dalil- dalil yang menunjukkan Islam adalah Agama dan Negara:
Dari al-Quran

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Susungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha mengetahui (QS. An- Nisa:58)

Ayat diatas ditujukan kepada para penguasa untuk menjaga amanat, menegakkan keadilan, karena menghilangkan amanat dan keadilan akan merusak ummat dan Negara.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul (Quran dan Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat(QS. An-Nisa:59).

Ayat ini ditujukan kepada kaum muslim untuk taat kepada pemerintah setalah ketaatan kapada Allah dan Rosulnya. Dan memerintahkan ketika berselisih untuk mengembalikan perkara kepada al-Quran dan Sunnah.
Pendapat-pendapat lain menyebutkan :

Marzuki Wahid  dan Abd Moqsith Ghazali :

“Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum Muslimin agar menganut suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.”

Ali Abd al-Raziq :

“Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah ada.”

Abdurrahman Wahid, 18 Juni 1992 :

“Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.”

Zainal Abidin Achmad :
“seorang tokoh Masyumi juga memberikan konsep Negara Islam, menurutnya dalam suatu Negara Islam, rakyat mempunyai dua hak konstitusional, yaitu : a. Hak untuk membuat konstitusi, b. Hak untuk memilih kepala negara. Jadi menurut Achmad, kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara Islam adalah sepenuhnya berada di tangan rakyat. Achmad tidak membela Teori Kedaulatan Tuhan seperti Ayatullah Khomeiny di Iran”
Rashid Rida:
“seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran Negara Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat menentukan (the single most decisive criterion) untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam”










BAB IV
ANALISIS
Dalam hal ini, Fiqh (hukum Islam) bisa dipahami dan diartikan sebagai kelanjutan logis atau produk jadi dari ushul al-fiqh (metodologi hukum islam). Ketika kita ingin mengetahui seluk-beluk hukum Islam maka menoleh kembali pada kajian metodologi inji menjadi satu keniscayaan.
Pada dataran empiris, sebuah teori yang di idiealkan rumusannya sering kali gagal pada tingkat aplikasi, sehingga apa “yang seharusnya” menjadi lumpuh dan tak berdaya idepan apa ”yang senyatanya”. Begitu juga implikasi yang ditimbulkan oleh metosde dan pola pikir umat Islam selama ini. Dalam hal ini, historiografi Islam telah menunjukan bahwa kemunduran dan skeptisisme intelektual telah melanda umat ini sejak abad pertengahan. Lebih dari itu, sejarah hukum Islam bahkan telah mencatat satu istilah populer, yakni tertutupnya pntu ijtihad (insidad bab al-ijtihad-clossing the gate of ijtihad) sebagai fenomena yang hampir disepakati keberadaannya. Ini merupakan suatu bukti malaise intlektual didalam struktur kailmuan (hukum) Islam secara keseluruhan.
Implikasi yang ditimbulkan oleh fenomena tertutupnya pintu ijtihad adalah kemunduran umat Islam di hampir seluruh bidang kehidupan. Menurut sebagian pengamat, hal itu lebih disebabkan oleh alam dan pola pikir umat Islam (Arab) yang sejak awal bersifat atomistik dan menolak rasionalisme. Sebagai konsekuensinya, bangsa Arab-dan umumnya umat Islam-juga tidak percaya terhadap semua konsep kebenaran universal yang abstrak dan a priori, seperti hukum alam dan keadilan.
Selain itu, Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inkonstitusional?
Kemudian, jika kita lihat dalam dalil Al-Quran dan hadist tentu kami selalu sependapat dengan isi dalam dalil-dalil itu karna nilai kebenarannya adalah sebuah “kebenaran mutlak” yang tidak bisa dan tidak mampu diganggu gugat. Sebab, berisi sebuah nilai-nilai kesakralan didalamnya.
Selanjutnya, dalam beberapa pendapat dari tokoh-tokoh Islam yang peduli dalam memandang “Syariah Islam dan Kontitusional Modern”, kami sependapat dengan opini dari tiga tokoh yakni Marzuki Wahid  dan Abd Moqsith Ghazali, Abdurrahman Wahid, yang berpendapat bahwa :
“Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum Muslimin agar menganut suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.” (Marzuki Wahid  dan Abd Moqsith Ghazali)
“Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.” (Abdurrahman Wahid)
Menurut kami, setelah sejenak memasuki dan mencari makna dari pendapat diatas jika kedua opini tersebut digabungkan dengan konstektual tertentu sangatlah cocok dan mendekati sebauah “kebenaran relatif” jika diterapkan dalam sistem pemerintahan bangsa Indonesia. Yang dapat ditarik kesimpulan bahwa, Islam memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial dan ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan zaman, sehingga antara Syariah Islam dan Konstitusional Modern sebenarnya dapat dikolaborasikan dalam sebuah sistem pemerintahan Negara. Karena notabene sifat dari agama Islam itu sendiri adalah terbuka. Kemudian, jika kita kembali melihat pendapat dari “Abdurahman Wahid” memanglah benar bahwa penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan perwujudan umat islam indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Dan dari sini jika kita jabarkan lagi, sebenarnya pada setiap butiran pancasila dari butir (1) sampai butir (3) sesungguhnya mencangkup kesesuaian dengan syariat islam. Karena sebagian besar protokol-protokol pembentuk negara Indonesia adalah seorang muslim, dan protokol-protokol pembentuk Pancasila juga sebagian besar adalah seorang muslim sehingga dapat dikatakan secara otomatis dalam proses pembentukannya bernilaikan syariah islam. Jika kita lihat dari sejarah dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadaran berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa” jadi sudah jelas bahwa bentukan hukum di indonesia masih dalam kawasan Syariah Islam. Selain itu, ajaran pertama dari buku petunjuk (Al-Quran) : “bahwa semua umat manusia adalah keluarga Tuhan; hanya ia adalah sahabat Tuhan, yang bersahabat dengan semua mahluk-Nya. Hanya inilah ibadah, inilah agama, dan inila iman, Bahwa orang harus membantu sesama manusia”, ini juga sesuai dengan slogan bangsa Indonesia yaitu “Bhinika Tunggal Ika”.

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasa yang telah dikemukakan diatas hubungan antara “syariah Islam dan Kontitusional Modern” sebenarnya saling berkoherensi. Dimana, Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman (Marzuki Wahid  dan Abd Moqsith Ghazali).
Dalam Negara inonesia jika dilihat dari sejarah dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadaran berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa” jadi sudah jelas bahwa bentukan hukum di indonesia masih dalam kawasan Syariah Islam.
Membentuk negara Islam di Indonesia masih sangatlah sulit, jika kita melihat pluralisme yang ada di Negara Indonesia. Karena tidak mungkin jika kita akan membentuk Negara Islam di Indonesia tanpa melihat keanekaragaman agama yang ada di Indonesia, dan jika dipaksakan akan terjadi kontra yang begitu besar dari seluruh elemen bangsa. Namun, jika kita akan menerapkan Syariah Islam dalam tatanan negara Indonesia kemungkinan besar dapat dilakukan, dan itupun sudah terjadi di Indonesia jika kita melihat wacana diatas.


2. Daftar Pustaka
AN Na’im, Abdullsh Ahmad, Dekontruksi Syariah. Yogyakarta : LKIS, 1994
Khaduri, Madjid, and Herbert Liebesny. Law in the Middle East. Washington D.C : Midlle East Istitute, 1995
Fuad Mahsun, Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta : LKIS, 2005
Gibb, H.A.R. Aliran-aliran Modern dalam Islam. Terj. Machnun Husein. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1993.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI-Press, 1990

Muhammad AS Hikam, ―Gus Dur dan Pemberdayaan Politik Umat‖, dalam Arief Afandi (ed.), Islam, Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais.
Effendy, Bahtiar, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung : Mizan, 2000
Harjono. Dkk, Anwar, Pemikiran dan Perjuangan Mohamad Natsir, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001
Kaelan, Pendidikan Pancasila,Yogyakarta : ParadigmaYogyakrta, edisi Reformasi 2004
Maarif, A. Syafii, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 2006
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam, Soekarno vs M. Natsir, Jakarta :Teraju (PT. Mizan Publik), 2005
Thaha, Idris, Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta : Teraju (PT. Mizan Publik), 2005
Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta : Djambatan, 1997
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar